IMBCNEWS | Sampai saat ini putusan terkait kasus terorisme dan jaringan Jamaah Islamiyah (JI) para hakim pemutus sering menjadikan Putusan PN Selatan No. 2191/2007 tanggal 21 April 2008 dijadikansebagai landasan untuk memutus atau dengan kata lain dijadikan yuris prodensi.
Dalam menangani tiga kasus inteltual muslim Farid Ahmad Okbah, Dr. Ahmad Zain Annajah dan Dr. Anung Alhamad, seyogianya hakim di PN Timur yang menangani kasus itu mengabaikan Putusan No. 2191/2008 dari Pengandian Negeri Jakarta Selatan karena putusan itu hanya berlaku terhadap kasus Zuhroni yang dinilai hakim sebagai imam JI, kata Yushernita, salah satu penasehat hukum tersebut, pada Jumat.
“Tidak ada aturan jelas dan tegas dalam suatu pasal peraturan perundang-undangan bahwa hakim wajib ikuti putusan hakim sebelumnya jika menangani kasus serupa,” kata Yushernita.
Menurtnya, Yurispudensi merupakan suatu kebiasaan dari hakim untuk mengikuti putusan hakim yang telah berkekuatan hukum telah ada untuk perkara sejenis. Putusan pengadilan tinggi dianggap memuat pokok pokok pikiran mengenai persoalan hukum yang dinamakan standard arresten. Sementara sistem hukum Indonesia tidak mengenai asas the binding force of precedent, tetapi hanya dapat dianggap menjadi sumber putusan hakim.
Untuk memutuskan kasus untuk tiga intektual muslim itu, sebaiknya menggunakan fakta dalam persidangan dan saksi ahli yang punya kredibilitas bukan saksi ahli yang karena diarahkan dan tidak punnya indepensi dalam keilmuan.
“Fakta dalam persidangan selama lebih dari 3 bulan itu terindikasi kasus itu kurang punya alat bukti kuat, tetapi lebih kepada narasi dan asumsi dari para aparatus negara yang ingin menjadikan tiga intektual muslim itu dijakdikan sebagai tersangka pidana teroris.
Terkait ceramah tiga ustaz di Hambalang, kata Yushernita, mereka cermah tidak lebih dari 30 menit, dan itu semua dilakukan secara profesional memberikan nasehat yang umum dan baik, sementara terkait dakwaan yang sumbernya dari “flesh dis”, ketiga terdakwa tidak tahu menahu karena flesh dis itu sebelumnya sudah disita oleh haim namun dimunculkan kembali oleh penyidik dan JPU. Artinya kasus lama dan untuk orang lain masih juga ditimpakan kepada tiga ustaz itu.
Di sisi lain, semua saksi menyebut tidak pernah dan tidak ditemukan fakta bahwa mereka telah “dibaiat” sebagai syarat menjadi anggota JI.
Dengan demikian, cukup punya alasan hakim berani memutuskan bebas dari segala tuntutan JPU agar kesan islamophobia dan umat Islam kini terasa tertekan oleh bayang-bayang ditangkap Densus 88 Polri, tidak terjadi, katanya.
Menjawab pertayaan, ia mengatakan, Sifat preseden dalam sistem peradilan Anglo-Saxon (common law system) bisa bersifat ‘the binding force of precedent (preseden yang mengikat) dan ‘persuasive precedent (preseden yang persuasif). Dua sifat preseden ini bergantung dengan yurisdiksi yang berada di negara bersangkutan.
Mengapa sistem itu dapat dipakai, karena putusan yang dimunculkan oleh para Yuris di Pengandilan Anglo adalah bersifat panel yang dapat diuji oleh publik. Mereka terdiri para profesor hukum dan praktisi dibidangnya, sehingga pendapatnya punya akuntabilitas yang tidak perlu diragukan lagi. Nah untuk di Indonesia yang menganut civil law, kurang cocok, karena putusan hakim itu lebih didominasi oleh pikiran seorang hakim ketua yang tentunya belum punya referensi dan litererasi lengkap terhadap kasus yang ditangani oleh seseorang atau bebera orang itu.
Imbcnews/**/diolah.