IMBCNews, Jakarta | Rencana Undang-Undang (RUU) tentang Masyarakat Hukum Adat (MHA) tidak kunjung disahkan. Beberapa kali perubahan nama yang ditetapkan dalam prolegnas mau pun prolegnas prioritas, sampai saat ini, RUU MHA belum disahkan juga menjadi UU. Hal ini pada gilirannya mendorong Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) melakukan gugatan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan Presiden RI.
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia Prof. Dr. Laksanto Utomo, SH., M.Hum., yang didamping Ketua Bidang Advokasi APHA Yamin SH MH, menyampaikan pernyataan dukungan, terkait gugatan perbuatan melawan hukum yang dilakukan penguasa. Pernyataan dukungan atas upaya yang dilakukan AMAN, disampaikan kepada media di sela-sela buka puasa bersama, di Kantor APHA Jakarta, Senin 1 April 2024.
Menurut Yamin terdapati tindakan administrasi pemerintahan yang tidak melaksanakan kewenangan konstitusionalnya dalam rangka mengakui dan menghormati masyarakat adat. “Ini dapat dikualifikasi sebagai Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (onrechtmatige overheidsdaad) karena tidak melakukan tindakan pembentukan Undang-Undang Tentang Masyarakat Adat, atau di sini terjadipenundaan berlarut,” katanya.
Lebih lanjut pernyataan APHA yang berkait erat dengan yang tertera pada Register Perkara Nomor 542/G/TF/2023/PTUN.JKT sebagai berikut:
Bahwa telah diajukan gugatan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa (onrechtmatige overdracht daad). Para Pihak yang berperkara adalah Penggugat yang terdiri atas Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, A. Usep Suyatma, SR, Wiwin Indiartis, dan Niklas Dilingeralias Habel Lilinger, dkk serta Tergugat Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia.
Pada tanggal 24 Juli 2023 Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara mengajukan Surat Permohonan Pembentukan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat melalui Surat Nomor 019/PPMAN/VII/2023. Namun, Surat Pemohonan tersebut tidak ditanggapi dalam waktu 90 hari sehingga menjadi obyek sengketa Peradilan Tata Usaha Negara, karena dianggap telah membuat putusan penolakan (negative stelsel).
Sebagai tindak lanjut operasional pengakuan dan penghormatan masyarakat adat Pasal 18 B ayat (2) UUD Tahun 1945, DPR RI dan Presiden RI telah beberapa kali menetapkan Draft RUU Tentang Masyarakat Adat, dalam prolegnas, antara lain sebagai berikut:
Prolegnas Periode 2005-2009, dengan judul “RUU tentang Hak-Hak Masyarakat Adat”, dengan Nomor Urut 101; RUU tentang Pengakuan dan Penghormatan Masyarakat Adat dan Tradisinya, dengan Nomor Urut 273, berdasarkan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor : 01/DPR-RI/III/2004-2005 Tentang Persetujuan Penetapan Program Legislasi Nasional Tahun 2005-2009.
Prolegnas Periode 2009-2014, dengan judul “RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat” dengan Nomor Urut 161.
Pada tahun 2013, RUU tentang Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat ditetapkan sebagai Proglenas Prioritas 2014, dengan Nomor Urut 26.
Pada tahun 2017, RUU tentang Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat ditetapkan sebagai Proglenas Prioritas, dengan Nomor Urut 45.
Prolegnas Periode 2020-2024, dengan judul “RUU tentang Masyarakat Hukum Adat, dengan Nomor Urut 160.
Pada tahun 2020, RUU tentang Masyarakat Hukum Adat ditetapkan sebagai Proglenas Prioritas, dengan Nomor Urut 22.
Meskipun telah beberapa kali RUU Tentang Masyarakat Hukum Adat dengan beberapa kali perubahan nama yang ditetapkan dalam prolegnas maupun prolegnas prioritas, tetapi sampai dengan saat ini belum disahkan, sehingga tindakan administrasi pemerintahan yang tidak melaksanakan kewenangan konstitusionalnya dalam rangka mengakui dan menghormati masyarakat adat tersebut dapat dikualifikasi sebagai Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (onrechtmatige overheidsdaad) karena tidak melakukan tindakan pembentukan Undang-Undang Tentang Masyarakat Adat – penundaan berlarut.
Pembentukan Undang Undang tentang Masyarakat Adat selalu mengalami penundaan, sehingga tidak kunjung tuntas hingga saat ini. Komitmen DPR dan Presiden untuk menuntaskan dan mengesahkan RUU tentang Masyarakat Adat terbukti sangat rendah, padahal sudah masuk Prolegnas beberapa kali. Ini merupakan bukti nyata bahwa masyarakat hukum adat tidak pernah memperoleh perhatian serius dari Pemerintah. Ini adalah ironi, masyarakat adat yang lebih dulu ada sebelum berdirinya NKRI, justru terabaikan di tanah leluhurnya sendiri.
Pada awalnya RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat dibahas bersamaan dengan RUU Pertanahan, dan RUU Desa. Yang disahkan UU Desa karena ada anggaran percairan dana desa. Kemudian RUU Masyarakat Adat juga berbarenan dengan RUU Kelapa Sawit yang sebenarnya bagian dari UU Perkebunan.
“Kami khawatir apabila UU Masyarakat Adat hanya menjadi bonsai yang sekadar dijadikan hiasan atas barangkali hilang dari Prolegnas karena resultante dari berbagai kepentingan kapitalis yang memandang masyarkat adat sebagai hambatan investasi dengan stigma kekhawatiran cikal bakal gerakan separatis,” kata Yamin
Ia mengemukakan, setelah mempelajari Surat No. 019/PPMAN/VII/2023, tertanggal 24 Juli 2023, Perihal: Permohonan Pembentukan UU Tentang Masyarakat Hukum Adat, Gugatan Perkara Nomor 542/G/TF/2023/PTUN.JKT, dan dinamika proses persidangan yang sudah memasuki tahap pembuktian, Asosiasi Pengajar Hukum Adat Indonesia menyatakan dukungan kepada Para Penggugat dan mengambil posisi sebagai Sahabat Pengadilan (Amicus Curae) yang mengimbau agar Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia segera membentuk Undang-Undang Tentang Masyarakat Hukum Adat dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang dijadikan landasan konsitusional, yaitu:
Pasal 5 ayat (1) dan 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang memberikan atribusi kekuasaan eksekutif dan legislatif serta preskripsi kewenangan dalam membentuk Undang-Undang.
Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945, menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Di samping itu, Negara Republik Indonesia juga telah meratifikasi beberapa instrumen hukum internasional yang disahkan melalui undang-undang, sebagai landasan yuridis melalui taraf sinkronisasi horizontal, yaitu:
Negara Indonesia sendiri telah meratifikasi ICCPR pada 28 Oktober 2005 melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik) yang disertai dengan Deklarasi terhadap Pasal 1 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya)
Sebagai Sahabat Pengadilan (Amicus Curae), kami, Asosiasi Pengajar Hukum Adat Indonesia, mendukung Para Penggugat sebagai Pencari Keadilan agar Yang Mulia Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili Perkara Nomor 542/G/TF/2023/PTUN.JKT agar mengabulkan Gugatan Para Penggugat untuk memberikan kepastian hukum kepada Masyarakat Hukum Adat sebagai subyek yang harus diakui dan dilindungi eksistensinya demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Prinsip-Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika. (asy/thy: sp/apha)