Oleh H Anwar Abbas *]
IMBCNews | Saya setuju dengan rencana pemerintah memberikan subsidi pembelian kendaraan listrik berupa insentif PPN sebesar 10 persen; Asal saja, pemerintah sudah melaksanakan amanat konstitusi yang terdapat dalam pasal 34 UUD 1945.
Amanat tersebut berbunyi: Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Jadi, kalau mereka yang disebut dalam pasal 34 UUD 1945 sudah dipenuhi kebutuhannya oleh negara, maka gagasan pemberian subsidi terhadap pembelian mobil listrik tentu boleh-boleh saja.
Hanya saja yang jadi pertanyaan: apakah mereka yang hidupnya masih dililit oleh persoalan serba berkekurangan (fakir miskin dan rakyat kecil) sudah dikeluarkan oleh pemerintah dari kesulitannya? Inilah yang menjadi masalah, sekaligus tanda tanya besar.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS)menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di negeri ini hingga September 2022 tercatat sebesar 9,57 persen; Atau sebanyak 26,36 juta jiwa. Ini setara dengan 80,6 persen penduduk Malaysia.
Sebagai Warga Negara Indonesia, agaknya kita wajar bertanya kepada pemerintah tentang kepentingan siapakah sebenarnya yang lebih didahulukan? Kepentingan para pemilik kapital atau kepentingan rakyat banyak terutama mereka-mereka yang hidupnya masih jauh dari sejahtera?
Kita sama tahu, banyak dari petani kecil yang kesulitan mendapatkan pupuk karena pupuk subsidi itu suka menghilang di pasar. Pasalnya, pupuk subsidi yang ada sudah dibeli oleh para petani besar; Atau ditimbun oleh para pedagang.
Di samping itu, kita juga bisa melihat, bagaimana nasib dari para guru honorer dan guru-guru madrasah yang bekerja melaksanakan tugas negara; Yaitu mencerdaskan kehidupan rakyat yang terabaikan, karena honor yang didapatkan guru tersebut selain sangat jauh dari kata layak juga tidak jarang pembayarannya terlambat.
Pertanya berikut, mengapa hal demikian terhadap guru honorer tidak mendapatkan prioritas dan benar-benar diperhatikan oleh pemerintah?
Oleh karena itu, jika pemerintah tetap memberikan subsidi pembelian mobil listrik berarti pendapatan negara dari pajak akan berkurang, sehingga kemampuan pemerintah untuk memberdayakan fakir miskin dan anak terlantar tentu akan semakin berkurang pula.
Bila hal semecam disebut terkhir ini yang terjadi, maka berarti pula pemerintah telah tidak mempergunakan pertimbangan hati nurani ketika membuat sebuah kebijakan.
Untuk itu, kita tentunya berharap; Semoga saja para pemimpin dan pejabat yang bertanggung jawab dalam masalah pengentasan kemiskinan ingat kembali dengan sumpah dan janji yang pernah diucapkan ketika dilantik dahulu; Sebab, kalau mereka melanggar janji dan sumpahnya maka yang terkena dampaknya tidak hanya diri mereka sendiri tapi juga orang lain. Dan kita, tentu saja tidak mau hal itu terjadi.
*] H Anwar Abbas, penulis, adalah Wakil Ketua Umum Majelis Ulama indonesia (MUI) Pusat.