| Oleh Asyaro G Kahean
IMBCNews | Banyak di antara kita melarang seseorang untuk menyesal. Mungkin ada baiknya. Selama, bertujuan agar seseorang itu tidak menyesal pada kemudian hari; Terlebih di akhirat kelak. Pada tujuan ini, kandungannya tentu sikap kehati-hatian. Untuk menjaga diri, dari sesuatu yang dapat menggelincirkan pada perilaku syaithaniyah.
Hanya saja, ajakan tidak menyesal menjadi tidak tepat manakala diri tersadar telah melakukan perbuatan yang nilainya buruk. Atau, ia telah melakukan hal yang melanggar tuntunan dan aturan dari Alkhaliq, Allah Subhanahu wa ta’ala (Swt).
Umumnya, perbuatan yang bernilai buruk berada pada proses menikmati karunia dan anugerah dengan cara-cara menyimpang. Ya menyimpang dari kehendak tuntunan dan aturan-aturanNya. Manakala perbuatan melanggar tuntunan dan aturanNya telah terlakukan dan kemudian tersadar, sebaiknya lekas-lekaslah menyesal untuk tidak mengulang perbuatan buruk yang sama.
Menyesal di atas kesadaran karena merasa telah melakukan kesalahan atau keburukan; Agaknya dapat menjadi pendorong pada kehati-hatian bertindak selanjutnya. Orang sekelas Nabi Adam Alaihis salam (As) yang pernah berdialog langsung dengan Alkhaliq, dipastikan telah memperoleh pelajaran menyesali perbuatan yang menggelincirkan karena berawal melanggar tata aturan dan perintahNya.
Fasilitas surga yang melebihi semua kesenangan dan kebahagiaan duniawi, pada gilirannya harus ditinggalkan Nabi Adam As. Gegaranya, beliau terpengaruhi sifat-sifat syaithaniyah. Sekali pun, pengaruh iblis itu masuknya melalui Siti Hawa yang dikisahkan memakan buah khuldi lebih dulu.
Allah seperti dibuat murka…! Akibat pelanggaran itu, maka dipindahkanlah Adam As dan Siti Hawa oleh Allah ke muka bumi. Dan pemindahan tempat ini setidaknya sebagai cara Allah memberikan hak inisiatif kepada Adam As dan keturunannya, selama menjalani hidup dan kehidupan di dunia fana.
Sebagai Yang Mahapencipta, Allah Mahatahu, bahwa makhluq berbangsa manusia; Tatkala dibenturkan penyesalan, akan muncul kesadaran diri yang meningkat. Ini menjadi proses fithriyah. Ini pun mendorong hak inisiatif insani selaku khalifah di bumi agar dapat dinamis, sebagaimana yang dikehendakiNya.
Nabi Adam As, dalam hal ini, telah menjadi sosok contoh sepanjang masa. Awal kehadiran Adam As di dunia fana membawa rasa penyesalan tertinggi. Akan tetapi, penyesalannya memunculkan kesadaran diri yang meningkat. Karena kesadaran itu, Adam As mesti melakukan pengakuan bahwa dirinya hanyalah sebagai makhluq.
Sedangkan Allah selaku Alkhaliq menunjukkan KemahakuasaanNya, dengan memberikan peluang berinisiatif kepada Adam AS melalui proses taubatan nashuha. Melalui taubat inilah terbuka jalan kembali ke surga, sebagai imbalan. Surga pun dapat menjadi bagian penting di atas geliat rasa rindu atas kebahagiaan haqiqi.
Dari hak inisiatif tersebut, sesungguhnya telah menjadi sumber ilmu pengetahuan sepanjang masa. Dan semakin dapat dipastikan, penyesalan yang mendorong meningkatnya kesadaran diri berkekuatan untuk mendinamisasi pengalaman batin menjadi ilmu. Sehingga, hak inisiatif insani kemudian dapat pula menampilkan serta membuahkan aneka ragam kreasi (methodologi hingga teknologi).
| Bersambung