IMBCNEWS Jakarta, Guru Besar dari Univ. Borobudur, Faisal Santiago mengingatkan, jika dirinya mengatakan, “bubarkan Komisi Yudisial (KY)” merupakan provokasi perbaikan agar lembaga itu melakukan penyaringan terhadap para calon hakim agung secara ketat.
KY mempunyai tugas antara lain melakukan rekruitmen Hakim Agung dan meningkatkan kapasitas para hakim. Jika ada 2 hakim agung yang terlibat suap atau korupsi, dan digelandang petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hal itu dinilai bermasalah. Itu artinya KY belum optimal dalam melakukan pengawasannya, kata Faisal dalam diskusi publik di Jakarta, Jumat malam.
Diskusi publik yang dilaksanakan Lembaga Eksaminasi Hukum Indonesia, bekerjasama dengan APPTHI, Gatranews dan IMBCNEWS menampilkan pembicara Direktur STIH Prof. Gayus Lumbuun, Dr. Laksanto Utomo, Hakim Agung 2011-2018 Prof. Gayus Lumbuun, Dekan FH Unkris, Dr. Muchtar Herman Putra, dengan moderator Dr. Yusuf Ms dari IBLAM Jakarta.
Menurut Faisal, saatnya reformasi hukum dilaksanakan pada saat ini selagi ada pintu masuk untuk melakukan pembenahan atau evaluasi menyeluruh atas terjadinya kerusakan hukum atau putusan hukum diberbagai pengadilan di Indonesia.
“Pengadilan itu tempatnya untuk mencari keadilan masyarakat. Jika pengadilannya seperti itu, bagaimana masyarakat akan percaya kepada hukum,” katanya seraya menambahkan, KY semestinya ikut menanggung beban untuk melakukan perbaikan.
KY itu bukan tempat orang-orang yang mencari pekerjaan, tetapi tempatnya untuk mengabdikan profesinya dalam perbaikan hukum di Indonesia, kata Faisal.
Tema reformasi hukum secara total itu menyusul adanya dugaan suap yang melibatkan hakim agung Sudrajat Dimyanti, dan Gazalba Saleh, terkait penerimaan suap senilai Rp 800 juta, pengurusan perkara perdata kepailitan Koperasi Simpan Pinjam Intidana. Menelisik harta kekayaan Hakim Agung Sudrajad Dimyati dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pada laman elhkpn.kpk.go.id, Jumat (23/9), memiliki total harta kekayaan sekitar Rp 10.777.383.297 atau Rp 10,7 Milyar
Menurut Direktur Lembaga Eksaminasi Hukum Indonesia yang juga direktur STIH Gayus Lumbuun, Dr. Laksanto menambahakan, sejak tahun 2012 para praktisi hukum sudah menyatakan benteng pengadilan di Indonesia dapat runtuh jika mafia hukum tidak
segera dibereskan. Tahun 2016 APTTHI membuat buku dan menyampaikan kepada presiden terhadap kritik tubuh di MA yang kurang terkontrol, banyak putusan dari hakim agung tidak sejalan dengan fakta, tahun 2017 terjadi penangkapan sekertaris MA dan puncaknya tahun ini dua hakim agung sebagai tersangka.
Karut marut dunia peradilan di tubuh MA inilah yang perlu direformasi. Salah satu perbaikannnya, kata Laksanto, Presiden Joko Widodo menghidupkan Lembaga Eksaminasi Hukum Indonesia untuk mengntrol para hakim yang membuat keputusan tidak sesuai dengan fakta-fakta hukum.
Prof. Gayus, menambahkan, sudah lama saya mengingatkan kepada semua pihak utamanya Presiden sebagai kepala negara untuk melakukan pembenahan terkait dengan kerusakan di lembaga peradilan tinggi itu.
Semua orang butuh hukum, semua orang membutuhkan keadilan, karenanya tema reformasi hukum secara total harus terus digaungkan. Dikatakan, Pasal 20 UUD 1945 antara lain menyebutkan, Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Pasal itu, menurut Guru Besar Unkris Jakata ini, Presiden dapat masuk membuat Peraturan Presiden Pengganti UU atau (Perpu), dalam rangka memperbaiki kerusakan di dalam sistem peradilan di Indonesia.
“Kalau ada kejahatan seksual untuk anak-anak, jika ada yang dinilai radikal, atau teroris, Presiden dengan sigap dan cepat mengeluarkan Perpu. Namun hal itu tampknya tidak dalam rangka perbaikan hukum, di MA,” katanya.
Ia mengingatkan, sebuah fakta tertangkapnya seorang hakim agung melalui operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK baru-baru ini merupakan pukulan telak dan berat terhadap lembaga puncak dari benteng keadilan Indonesia. Belum lagi fakta-fakta bahwa 85 hakim dari pengadilan negeri (PN) dan pengadilan tinggi (PT) telah dijatuhi sanksi oleh Komisi Yudisial (KY) pada rentang waktu antara Januari hingga November 2021. “Jumlah tersebut akan bertambah pada tahun 2022 ini,” jelas dia.
Situasi darurat peradaban hukum ini, lanjut Prof Gayus, akan menimbulkan kerugian masyarakat banyak, baik di dalam maupun di luar negeri dalam kaitan dangan investasi. “Sengketa hukum di pengadilan dengan fakta pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh aparatur peradilan juga akan membuat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hukum di Indonesia akan menurun,” kata dia mengingatkan.
IMBCnews/***