IMBCNEWS | Jakarta, Saatnya reformasi hukum dilaksanakan pada saat ini selagi ada pintu masuk untuk melakukan pembenahan atau evaluasi menyeluruh atas terjadinya kerusakan hukum atau putusan hukum diberbagai pengadilan di Indonesia.
Prof Dr. Gayus Lumbuun, Hakim Agung di Mahkamah Agung (MA) tahun 2011 – 2018 mengatakan, “ikan itu busuknya di awali dari kepalanya. Apakah kerusakan hukum kita, atau rendahnya kualitas putusan peradilan di Indonesia juga di awali dari Mahkamah Agung ?.” Hal ini dipertanyakan saat menjadi narasumber diskusi Publik yang bertema, “Mendesak Reformasi Hukum Total di Mahkamah Agung,” Jumat malam.
Diskusi publik yang dilaksakan Lembaga Eksaminasi Hukum Nasional bekerjasama dengan Lembaga Studi Hukum Indonesia, LSHI, Gaatranew, IMBCNEWS, Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) itu menampilkan pembicara Prof. Faisal Santiago, Direktur Pasca Univ Borobudur, Dr. Laksanto Utomo, Direktur Lembaga Eksaminasi Hukum Nasional, dan Dr. Muchtar Herman Putra, dekan FH Unkris., dengan moderator Dr. Yusuf Ms SH MH dosen IBLAM Jakarta.
Tema reformasi hukum secara total itu menyusul adanya dugaan suap yang melibatkan hakim agung Sudrajat Dimyanti, dan Gazalba Saleh, terkait penerimaan suap senilai Rp 800 juta, pengurusan perkara perdata kepailitan Koperasi Simpan Pinjam Intidana. Menelisik harta kekayaan Hakim Agung Sudrajad Dimyati dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pada laman elhkpn.kpk.go.id, Jumat (23/9), memiliki total harta kekayaan sekitar Rp 10.777.383.297 atau Rp 10,7 Milyar
Menurut Gayus, sudah lama saya mengingatkan kepada semua pihak utamanya Presiden sebagai kepala negara untuk melakukan pembenahan terkait dengan kerusakan di lembaga peradilan tinggi itu.
Semua orang butuh hukum, semua orang membutuhkan keadilan, karenanya tema reformasi hukum secara total harus terus digaungkan. Dikatakan, Pasal 20 UUD 1945 antara lain menyebutkan, Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Pasal itu, menurut Guru Besar Unkris Jakata ini, Presiden dapat masuk membuat Peraturan Presiden Pengganti UU atau (Perpu), dalam rangka memperbaiki kerusakan di dalam sistem peradilan di Indonesia.
“Kalau ada kejahatan seksual untuk anak-anak, jika ada yang dinilai radikal, atau teroris, Presiden dengan sigap dan cepat mengeluarkan Perpu. Namun hal itu tampknya tidak dalam rangka perbaikan hukum, di MA,” katanya.
Ia mengingatkan, sebuah fakta tertangkapnya seorang hakim agung melalui operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK baru-baru ini merupakan pukulan telak dan berat terhadap lembaga puncak dari benteng keadilan Indonesia. Belum lagi fakta-fakta bahwa 85 hakim dari pengadilan negeri (PN) dan pengadilan tinggi (PT) telah dijatuhi sanksi oleh Komisi Yudisial (KY) pada rentang waktu antara Januari hingga November 2021. “Jumlah tersebut akan bertambah pada tahun 2022 ini,” jelas dia.
Situasi darurat peradaban hukum ini, lanjut Prof Gayus, akan menimbulkan kerugian masyarakat banyak, baik di dalam maupun di luar negeri dalam kaitan dangan investasi. “Sengketa hukum di pengadilan dengan fakta pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh aparatur peradilan juga akan membuat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hukum di Indonesia akan menurun,” kata dia mengingatkan.
Perbaikan Sistem
Sementara itu Dekan FH Unkris Jakarta, Dr. Muchtar Herman Putra menambahkan, untuk memprbaki karut marut hukum di Indonesa, yang pertama diperbaiki adalah sistemnya. Mengutip pendapat Lawrence Friedmaan, menyatakan bahwa sistem hukum terdiri atas tiga komponen, yaitu struktur (legal structur), substansi (legal substancy), dan Budaya (legal cultur).
Sistem hukum, sistem dalam perekrutan para hakim agung di MA sebaiknya tidak melibatkan fit and proper tes dari DPR.
Mengapa ? Lembaga hukum itu mestinya ditempatkan bukan pada frasa politik. Jika yang diusulkan anggota MA tersebut, sudah otomatis tidak mungkin sepi dari usulan politik.
“Biaya untuk melakukan fit and proper, relatif cukup besar, karenanya, membutuhkan loby-loby politik. Ini yang menjadi masalah akhirnya, para hakim agung tidak cukup puas mendapat gaji di tas Rp150 juta per bulan.
Muchtar mengingatkan, jika benteng peradian di Indonesia tidak segera dibenahi, dievaluasi, bukan tidak mungkin akan terjadi ketidakpercayaan masyarakat akan hukum positif, sehingga masyarakat akan mudah terjadi chaos.
“Sejak ditangpaknya Sekertaris MA tahun 2017, seyogyanya pemerintah dapat memperkirakan akan terjadi kerusakan yang masif. nah saat ini dengan terlibatnya 2 hakim agung dari 51 anggota hakim, yang terlibat suap, merupakan malapetaka peradilan hukum di Indoneia, katanya
IMBCnews/***