Bandung-IMBCNews- Kementerian Agama (Kemenag) menggelar Mudzakarah Perhajian Indonesia di Bandung, Jawa Barat, pada 7-9 November 2024. Menteri Agama Nasaruddin Umar berharap pelaksanaan Mudzakarah Perhajian dapat menghasilkan rekomendasi yang bermuara pada kemaslahatan umat dan bukan malah memberatkan para calon haji.
“Melakukan tindakan untuk rakyat harus didasari untuk kemaslahatan. Jangan justru sebaliknya, pembicaraan tentang rakyat melahirkan mudharat untuk rakyat. Harus menghasilkan yang dapat meringankan masyarakat bukan sebaliknya,” ujar Menag saat membuka Mudzakarah di Institut Agama Islam Persatuan Islam (IAI Persis) Bandung, Kamis (7/11) malam.
Menurut Menag, ada tiga isu krusial yang menjadi pokok bahasan yakni skema murur, tanazul, dan respon hasil Ijtima MUI soal nilai manfaat dana haji.
Murur merupakan pergerakan jamaah haji dari Arafah melintas di Muzdalifah, lalu menuju ke Mina saat puncak haji. Jamaah diberangkatkan dari Arafah setelah Maghrib menuju Muzdalifah, tanpa turun, dan langsung menuju ke Mina.
Murur secara sistematis kali pertama diterapkan pada penyelenggaraan Haji 2024. Terobosan itu berhasil mempercepat proses mobilisasi jamaah dari Muzdalifah ke Mina.
Menurut Menag, sebelum skema murur ini diperkuat pada tahun depan, skema ini membutuhkan masukan-masukan dari para ahli fikih. “Masalah murur, kami membutuhkan legitimasi para ahli dan ulama,” ujarnya.
Kemudian terkait skema Tanazul, menurut Menag, kebijakan ini dalam rangka mengurangi kepadatan jamaah saat mabit (menginap) di tenda Mina. Konsepnya, jamaah yang tinggal di hotel dekat area jamarat, akan kembali ke hotel (tidak menempati tenda di Mina).
Sementara soal hasil Ijtima Komisi Fatwa MUI Se-Indonesia VIII Nomor 09/Ijtima Ulama/VIII/2024 yang mengharamkan penggunaan hasil investasi setoran awal biaya haji (Bipih) untuk membiayai penyelenggaraan haji jamaah lain, Menag harap Mudzakarah hasilkan titik temu.
Menurut dia, langkah BPKH selama ini sudah sesuai jalur yakni memberikan subsidi agar jamaah tidak merasa berat saat melakukan pelunasan.
Ia mencontohkan pada 2024 Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) mencapai Rp93 juta. Jamaah hanya perlu membayar rata-rata Rp56 juta per orang. Selisih dari angka tersebut diambil dari Nilai Manfaat yang dikelola BPKH.
Nasaruddin memandang pemberian subsidi oleh pemerintah tersebut sudah tepat, karena ujungnya demi meringankan beban yang harus dipikul jamaah saat proses pelunasan.
Sementara terkait pro kontra Ijtima tersebut, ia berharap Mudzakarah menghasilkan rekomendasi yang dapat diterima semua pihak yang bermuara pada kemaslahatan umat.
“Perhitungkan dan pertimbangkan apa dampaknya, apa maslahatnya, apa akibatnya kalau kita tidak komprehensif mempertimbangkan banyak hal. Tiba-tiba mengharamkan sesuatu atau menghalalkan sesuatu,” kata Menag Nasaruddin.
Sementara itu Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Hilman Latief mengatakan dengan banyaknya jamaah usia lanjut yang diberangkatkan ke Tanah Suci, maka diperlukan Kajian Fiqih Taisir (Kemudahan-kemudahan) dalam pelaksanaan haji bagi Jamaah Haji Indonesia.
“Pelaksanaan ritual ibadah haji adalah rangkaian ibadah yang didominasi oleh aktifitas fisik, sementara salah satu tujuan syariat agama adalah menjaga jiwa (hifdz al-nafs),” ujarnya.
Oleh sebab itu, lanjut Hilman perlu dicari satu formula agar pelaksanaan agama (hifz al-din) sejalan dengan tujuan menjaga jiwa (hifdz al-nafs). Syari’ah (fiqih Islam) dan negara harus memberikan ketetapan hukum dalam menjaga jiwa jamaah yang akan diberangkatkan ke Tanah Suci agar memperoleh pembinaan pelayanan dan pelindungan yang sama.
“Dengan kembali meninjau kesiapan mencoba menggali ketetapan hukum terkait Murur di Muzdalifah dan juga Tanazul dari Mina, dimana pada penyelenggaraan haji Tahun 2024, aktualisasi murur di Muzdalifah dapat menekan angka kematian jemaah Haji Indonesia,” kata Hilman.
Selain itu, lanjut dia, yang juga menyita perhatian Kemenag dalam hal ini, Ditjen PHU yakni Fatwa MUI yang menyatakan bahwa penggunaan dana haji (nilai manfaat) hukumnya haram dan berdosa.
“Fatwa MUI yang kemudian membuat resah jamaah terutama yang sudah berangkat Haji dan tentu memunculkan kekhawatiran calon jsmaah Haji yang belum berangkat terkait penggunaan nilai mafat dari investasi dana haji. Demikian ini perlu perhatian Khusus untuk mempertahankan asas keberadilan dalam penyelenggaraan maupun juga penggunaan nilai mafaat dana haji,” ujarnya. (KS)