IMBCNEWS | Ketua Komisi Yudisial Prof. Dr. Mukti Fajar Nur Dewata, menyambut baik usulan kerjasa dengan Asosiasi Pengajar Hukum Adat (AHPHA) Indonesia, utamanya dalam melakukan penelitian dan peningkatan kapasitas para hakim terkait dengan hukum adat.
“Usulan itu sesuai dengan tugas Pokok KY, oleh karenanya, saya mengapresiasi dan akan segera menindak lanjuti,” kata Keua Komisi Yudisial (KY) Prof. Mukti Fajar, usai menerima kunjungan pengurus APHA Indonesia, Dr. Laksanto Utomo, di Jakarta, Selasa.
Disebutkan, usulan itu setidakya ada 4 hal, dua terkait langsung dengan Tupoksi, dan dua hal lainnya, beririsan. Tetapi perlu koordinasi dengan lembaga lainnya, yakni Mahkamah Agung (MA).
Tupoksi KY, kata Mukti, memilih para anggota Mahkamah Agung (MA). Tugas ini banyak diketahui oleh masyarakat luas. Tugas kedua, meningkatkan kapasitas keilmuan para hakim, termasuk meningkatkan pakta integritas kode etik hakim, dan melakukan pembelaan advokasi para hakim yang terkena serangan saat melakukan tugas baiknya.
“Usulan APHA, dalam klaster tersebut dapat diakomodir, namun perlu disampaikan juga dengan anggota komisi lainnya,” katanya.
Usulan lainnya, adalah membuat Lembaga Peradilan Adat, dan Mengusulkan pembuatan Surat Edaran (SE) terkait ahli dalam sengketa tanah adat dalam konflik di pengadilan negeri. Selama ini para dosen pengajar hukum adat menilai, putusan hakim di berbagai Pengadilan Negeri, seolah menafikan keberadaan masyarakat adat, sehingga putusan selalu dimenangkan oleh para oligarki, investor atau pemilik dokumen sesuai hukum positif.
APHA mengusulkan, jika ada ahli dalam sengketa adat melibatkan orang-orang yang mengerti dan punya integritas mempertahankan hukum adat, seyogianya semua pihak juga dapat mengapresiasi, kata Mukti yang juga sebagai dosen dari Univ Muhammadiyah Yogja itu
Timbul Tenggelam Seperti Gelombang Pantai
Pertemuan Pengurus APHA Indonesia, turut hadir Dr. Kunthi Tridewiyanti, peneliti senior aliran kepercayaan dari Universitas Pancasila Jakarta, Wakil Dekan Univ Trisaksi dan peneliti senior hukum waris dan masyarakat adat, Dr. Ning Adiasih dan wakil bendahara APHA Indonesia, Dr. Leny Nadriyana, SH MH.
Dr. Laksanto Utomo, mengatakan, Kedudukan Peradilan adat sebagai salah satu lembaga penyelesaian sengketa di Masyarakat Hukum Adat belum mendapatkan pengakuan dari Lembaga Peradilan di Indonesia.
“Sekali lagi para hakim di berbagai PN dalam memutuskan sengketa dengan masyarakat adat, para ahli yang mengaku ahli hukum adat itu dipengerahui oleh legal positivisme, realisme hukum, sehingga hakim-pun juga ikut alur positivisme hukum itu,” katanya seraya menambahkan, dengan putusan berdasarkan hukum positivisme, masyarakat adat sering terkalahkan dalam berperkara.
Seyogianya hukum itu mengikuti pemikiran ahli, Von Savigny, keadilan itu berdasarkan hukum yang berlaku pada masyarakat setempat (Living law), kata Laksanto mengutip pendapat guru besar dari Univ Unika Yogjakata, Prof. Dr. Maria Endang Sumiarni.
Berdasarkan data, hasil penelitian MHA yang pernah dilakukan di Papua, ada 13 suku yang dapat tergolong dalam MHA dan otomatis termasuk hukum adatnya masih eksis, lembaga peradilan adat masih eksis. Mereka menyelesaikan perkara-perkara MHA dengan focus. Bagi yang bersalah terbukti, maka mendapatkan sanksi denan membayar denda sesuai hukum adat, wajib berdamai dan jangan diulang kembali”
Laksanto juga mengingatkan, hukum adat itu bersifat dinamis. Timbul tenggelam seperti gelombang laut di tepi pantai, Sehingga juga mengikiti perkembangan jaman terutama bentuk-bentuk konkritnya, namun nilai-nilai hukum adat tetap tidak berubah.
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU 48/2009”) menyatakan bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat, Namun dalam praktiknya para hakim tidak paham dan mengerti Hukum Adat yang berlaku di masyarakat setempat, kata Laksanto menutup.
IMBCnews.**