Oleh: Aceng Abdul Azis*
DALAM beberapa tahun terakhir, ruang keagamaan seperti masjid menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Bukan hanya karena perubahan sosial yang cepat, tapi juga karena kesadaran jamaah yang semakin tinggi terhadap nilai-nilai keterbukaan, rasionalitas, dan kebutuhan akan pelayanan keumatan yang kontekstual. Jamaah kini bertanya, bahkan menuntut penjelasan: mengapa salat dilakukan dengan cara tertentu, misalnya. Apa dalil dan referensinya? Siapa otoritas keagamaan di balik setiap kebijakan DKM?
Menjawab situasi itu, DKM Masjid Puribali, Depok, mulai tahun 2015-an memilih langkah awal antisipatif, yakni melakukan benchmarking ke tiga masjid besar di Jakarta—Masjid Istiqlal, Masjid Sunda Kelapa, dan Masjid Pondok Indah. Ketiganya dikenal luas sebagai pelopor masjid modern yang moderat, inklusif, dan mampu beradaptasi dengan tantangan zaman. Hasil dari studi banding ini bukan hanya inspirasi teknis, tapi juga legitimasi moral dari para imam besar yang ditemui secara langsung.
Melalui proses itu, DKM Puribali kemudian mengadopsi pola-pola ibadah dan budaya masjid yang dirasa tepat, seperti tata cara khutbah Jumat, adzan, wirid, serta manajemen kegiatan Hari Besar Islam. Praktik ini secara efektif menjadi jawaban atas berbagai pertanyaan jamaah yang kritis, sekaligus menjadi pencerahan terhadap klaim-klaim “bidah” yang kerap muncul.
Lebih dari sekadar menjawab tuntutan khilafiyah ibadah, benchmarking ini membuka pintu transformasi masjid ke arah yang lebih luas: dari tempat ibadah menjadi pusat solusi masyarakat. DKM Puribali terus berikhtiar tidak hanya mengelola kegiatan keagamaan rutin, tapi juga mengembangkan lembaga-lembaga sosial seperti LAZIS, komunitas Muslimat, komunitas remaja (dalam RIMBA Al-Baqoroh), layanan jenazah, serta mendirikan Masjid Media Center (MMC) sebagai kanal dakwah digital.
MMC ini adalah jawaban masjid terhadap zaman digital. Dakwah tidak lagi hanya dalam mimbar dan pengeras suara masjid. Ia hidup di media sosial, dalam bentuk video, infografis, hingga diskusi daring. Inilah desain dakwah bil hal yang akan menyampaikan pesan agama dengan metoda baru, juga untuk membentuk kesadaran sosial dan spiritual di ruang publik yang lebih luas.
Strategi lain dalam melakukan objektifasi masjid adalah memperkuat keterlibatan warga. Intensifikasi potensi “dalam negeri” masjid. Para penceramah dan narasumber kajian prioritas diambil dari kalangan internal kompleks perumahan, dengan harapan konten keagamaan yang disampaikan lebih kontekstual, substansinya membumi, dan relevan dengan dinamika kehidupan warga Puribali. Masjid menjadi tempat lahirnya solusi, bukan sekadar tempat perenungan personal. Tetapi masjid menebarkah spektrum rahmatan lil alamin ke luar dinding masjid.
Konsistensi pendekatan inklusif dan transformatif ini tercermin jelas dalam kegiatan Ramadhan 2025 Masjid Puribali yang baru berlalu. Dengan mengusung tema “Berbagi, Bersyukur dan Beribadah Sepenuh Hati”, masjid ini menekankan pentingnya keseimbangan antara hablun minallah (hubungan vertikal dengan Tuhan) dan hablun minannas (hubungan horizontal dengan sesama). Seluruh program Ramadhan dirancang untuk memperkuat spiritualitas jamaah sekaligus memperluas jangkauan sosial masjid—dari pembagian takjil dan santunan yatim, hingga kajian tafsir dan program itikaf terbuka.
Satu aspek penting lain yang tak boleh diabaikan adalah makna keramaian warga dalam kebersamaan di masjid. Di tengah tren masyarakat yang semakin permisif, individualis, dan longgar secara emosional (lossing connection), keberadaan masjid sebagai ruang bersama menjadi sangat vital. Keramaian di masjid bukan sekadar membanggakan jumlah, tetapi menciptakan energi kebersamaan, memperkuat jejaring sosial, dan membangun rasa saling memiliki antarwarga kompleks.
Budaya salam, senyum, dan sapa yang dibangun di Masjid Puribali bukan formalitas. Tiga S ini penting sekali, untuk menghilangkan kesan kaku masjid. Konsep yang biasanya di POM Bensin ini, justeru akan menjadi perekat batin yang akan menghubungkan antarwarga yang berbeda latar belakang sosial, pendidikan, bahkan pandangan keagamaan. Di masjid, semua bisa bertemu dalam keadaan baik, bersih dan setara. Tidak ada sekat apapun. Yang ada hanya satu tujuan: mencari ridha Allah dan membangun harmoni sesama manusia.
Dengan kebersamaan seperti itu, masjid tidak hanya menjadi benteng moral, tetapi juga menjadi rumah besar (dalam konotasi sesungguhnya) yang akan menghimpun unsur-unsur keluarga orang tua-anak secara ril, dengan support sarpras yang memadai, dapur, akses prioritas, minum, dan seterusnya; rumah besar yang menjaga kehangatan warga/jamaah, menghindarkan dari keterasingan dan apatisme, serta dari kehilangan arah. Dalam masjid yang tercerahkan ini, jamaah akan saling mengenal, saling menolong, dan saling memperhatikan (care). Ini adalah social capital yang makin langka juga mahal di tengah kehidupan modern yang serba sibuk dan individualistik.
Masjid Puribali mencoba menjadi ruang dialog, penguatan solidaritas, dan pusat gagasan tentang pengembangan masyarakat, baik dalam aspek keagamaan, kesehatan, pendidikan, hingga ekonomi. Sebuah model masjid yang kedepan dapat menjawab tantangan zaman yang berakar pada nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Di tengah krisis kepercayaan publik terhadap realitas, masjid yang kita kelola secara serius justru punya peluang besar dalam mengisi hati umat–jika mampu bahkan menjawab kebutuhan zaman. Diperlukan keberanian untuk berubah (taghyir), kemampuan membaca realitas, dan semangat untuk menjadi pelayan umat yang sejati. Dan Masjid Puribali sedang memulainya, yang akan berhasil jika terdapat kontribusi kita semua. **
Penulis,
*Ketua DKM Puribali, Depok