IMBCNEWS | Jakarta – Sejak dikeluarkan pada 30 Desember 2022, Perppu Cipta Kerja belum juga dibahas di DPR. Pakar menilai kondisi ini menunjukkan bahwa syarat keluarnya Perppu itu patut dipertanyakan.
Presiden Joko Widodo, seperti dilansir VOA Indonesia Selasa menyebutkan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang digagas Presiden setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan perlu ada perbaikan UU Cipta Kerja terus menjadi polomek ditengah masyarakat.
Perppu memang bisa dikeluarkan oleh Presiden, tetapi dengan syarat ada situasi genting yang memaksa pemerintah harus mengambil langkah cepat. Namun apakah Perpu yang dikeluarkan itu dalam situasi genting atau mekmaksa ? Jangan sampai kata “genting” hanya dapat dimonopoli oleh segelintir elite. Berikan pelajaran hukum dan politik kepada publik agar Indonesia dapat sebagai negara demokrasi yang dapat ditiru oleh negara tetangga.
Namun, hingga hampir dua bulan setelah dikeluarkan, DPR tidak juga membawa Perppu itu ke rapat paripurna untuk disahkan. Situasi ini, menurut pakar hukum konstitusi, Allan Fatchan Gani Wardhana, menimbulkan pertanyaan soal kegentingan yang memaksa yang mendasari keluarnya Perppu itu.
“Artinya ketika kemarin Perppu Cipta Kerja dan Perppu Pemilu itu dikeluarkan di bulan Desember, dan sidang pertama DPR itu dimulai kalau tidak salah Januari, sampai terakhir kemarin 16 Februari, itu seharusnya Perppu sudah ditetapkan. Karena memang ada limitasi waktu di situ,” kata Allan dalam diskusi Karut Marut Penerbitan Perppu yang diselengarakan Pusat Studi Hukum Konstitusional (PSHK) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Senin (27/2).
Sampai saat ini, ada dua Perppu yang dikeluarkan Presiden Jokowi, belum disetujui DPR. Pertama adalah Perppu tentang Perubahan atas UU No 7/2017 tentang Pemilihan Umum yang dikeluarkan 12 Desember 2022. Kedua, Perppu tentang Cipta Kerja yang diundangkan 30 Desember 2022.
Harus Disetujui dalam Paripurna
Dalam jadwal yang terpampang di laman resminya, DPR setidaknya sudah tiga kali menggelar rapat paripurna setelah dua Perppu itu dikeluarkan Jokowi, yaitu 10 Januari, 7 Februari dan 16 Februari 2023. Tidak satupun rapat paripurna itu menyinggung tentang pentingnya pembahasan Perppu Cipta Kerja.
Padahal UUD 1945 pasal 22 ayat 1 menyebutkan, Perppu ditetapkan ketika negara dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Situasi genting dan memaksa itu sendiri, menurut Allan, merupakan hak subyektif presiden. Namun, ada sejumlah yurisprudensi yang menyertainya, seperti tidak adanya undang-undang atau kekosongan hukum, atau adanya limitasi waktu, dan situasi sejenis.
Pasal itu juga mengatur, Perppu harus mendapatkan persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut, sebagai bukti bahwa dia dikeluarkan karena situasi genting yang memaksa. Allan menambahkan, pasal 52 UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menegaskan bahwa, persidangan yang berikut bemakna sidang pertama setelah Perppu ditetapkan.
“Sehingga, kalau kita mengacu pada Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka persidangan yang berikut itu adalah sidang pertama setelah Perppu itu ditetapkan oleh Presiden,” tegas Allan yang juga Direktur PSHK UII.
Jika DPR setuju, maka Perppu akan menjadi undang-undang, sedangkan jika tidak setuju maka harus dicabut.
Baru Disetujui Badan Legislasi
Perppu Cipta Kerja sendiri baru selesai dibahas bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR. Dalam pertemuan pemerintah dengan Baleg pada 15 Februari 2023, DPR setuju Perppu Cipta Kerja akan dilanjutkan pada pembicaraan tingkat II, yakni dalam Rapat Paripurna masa sidang berikutnya.
Dari sembilan fraksi, dua di antaranya menolak penetapan Perppu tersebut, yakni Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Penolakan juga datang dari DPD RI.
Fraksi Partai Demokrat menolak Perppu Cipta Kerja karena cacat secara formalitas dan konstitusi, serta alasan kegentingan tidak rasional. Sedangkan Fraksi PKS beralasan tidak ada urgensi genting dan mendesak yang cukup menjadi alasan pemerintah menerbitkan Perppu.
“Namun akhirnya kita sepakati bersama bahwa Perppu ini akan dibawa ke Paripurna untuk dijadikan undang-undang, yang mungkin akan dilaksanakan pada awal masa persidangan depan,” kata Wakil Ketua Baleg DPR, M. Nurdin.
Pemerintah diwakili oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto dalam pertemuan tersebut.
“Pemerintah telah mendengar pandangan fraksi-fraksi dan memberikan apresiasi, baik yang mendukung dan menyetujui, maupun fraksi yang tidak menyetujui. Tentunya semua catatan itu selalu menjadi masukan bagi Pemerintah dalam pelaksanaan UU Penetapan Perppu Cipta Kerja Menjadi UU nantinya,” kata Airlangga.
Airlangga meyakinkan bahwa Perppu Cipta Kerja akan memberikan kepastian hukum dan manfaat yang diterima oleh masyarakat, UMKM, pelaku usaha, dan pekerja.
Para buruh berpawai menuju Monas dalam unjuk rasa untuk memprotes Perppu Cipta Kerja, Sabtu, 14 Januari 2023. (Foto: Aditya Pradana Putra/Antara Foto via Reuters)
BACA JUGA:
Ribuan Buruh Protes Perppu Cipta Kerja
Airlangga didampingi oleh Menko Polhukam Mahfud MD, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi, dan sejumlah pejabat pemerintah terkait.
Hilangnya Faktor Kegentingan
Direktur Pusat Studi Konstitusi, Universitas Andalas, Padang, Sumatra Barat, Feri Amsari setuju bahwa faktor kegentingan yang memaksa dalam penerbitan Perppu Cipta Kerja patut dipertanyakan. Menurut Feri, DPR dan pemerintah tidak membaca pasal 52 UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang memerintahkan Perppu segera dibahas.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas (Pusako Unand), Feri Amsari. Jumat 15 Oktober 2021. (Anugrah Andriansyah)
Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas (Pusako Unand), Feri Amsari. Jumat 15 Oktober 2021. (Anugrah Andriansyah)
“Menurut saya, hapuslah sifat hal ikhwal kegentingan memaksanya. Masa sesuatu yang memaksa, bisa diundur-undur,” kata Feri.
“Yang kedua, pasal 52 itu jelas, bahwa jika tidak mendapatkan persetujuan di masa sidang berikutnya dalam sidang paripurna itu, maka dia harus dinyatakan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku,” tambahnya.
Karena itulah, kealpaan DPR untuk membahas Perppu Cipta Kerja pada Januari sampai Februari ini, menurut Feri, sebenarnya juga berkah bagi masyarakat Indonesia yang menolak UU Cipta Kerja. Karena dengan carut marutnya persoalan ini, semestinya Perppu dinyatakan dicabut dan tidak berlaku.
Aksi Kamisan Kaltim 7 Oktober 2021 memperingati setahun UU Cipta Kerja. (Foto: Kamisan Kaltim)
Aksi Kamisan Kaltim 7 Oktober 2021 memperingati setahun UU Cipta Kerja. (Foto: Kamisan Kaltim)
“Tapi, sekali lagi kita harus ingat, bahwa dari sedari awal, ini dirancang tidak peduli pada Undang-Undang 12 dengan turunannya. Tidak peduli dengan konsep pasal 22a (UUD 1945-red), dan tidak peduli dengan konsep Perppu,” tandas Feri.
Perppu Seharusnya Dihindari
Sementara itu, Bivitri Susanti, pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera mengingatkan pemerintah agar tidak mudah mengeluarkan Perppu.
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti. (Foto:PSHK)
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti. (Foto:PSHK)
“Kita harus pegang dari sekarang. Jangan dikit-dikit minta Perppu. Karena Perppu itu adalah fasilitas darurat yang tidak demokratis dalam sebuah negara demokrasi. Sehingga tidak boleh sembarangan digunakan, sekedar menghindari proses politik tertentu,” ujarnya dalam diskusi yang sama.
Dia mengingatkan, pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, seringkali Perppu keluar hanya sekadar untuk menghindari kegaduhan politik.
“Karena Perppu itu kan fait accompli-nya pemerintah. DPR tinggal bilang iya atau tidak, mostly ini bilangnya iya,” lanjut Bivitri.
Pemerintah cenderung suka mengeluarkan Perppu karena proses normal di DPR akan memakan waktu dan memungkinkan timbulnya reaksi penolakan, seperti demonstrasi.
Seorang anggota serikat buruh mengenakan ikat kepala bertuliskan “batalkan UU Cipta Kerja” dalam demo memprotes perubahan aturan ketenagakerjaan saat Mahkamah Konstitusi membacakan putusan uji materi UU Cipta Kerja, di Jakarta, Senin, 25 November 2021. (F
BACA JUGA:
YLBHI Nilai Perppu Cipta Kerja Bentuk Pembangkangan Konstitusi
Bivitri juga mengkritik MK yang tidak bersikap melihat apa yang terjadi. Di sisi lain, permohonan uji materi UU Cipta Kerja juga selalu ditunda persidangannya. Ada dugaan di kalangan aktivis dan pemerhati hukum bahwa langkah MK mengundur-undur persidangan terkait uji materi ini adalah untuk menunggu persetujuan DPR atas Perppu Cipta Kerja itu sendiri. Dengan demikian, obyek uji materi tidak lagi berlaku.
“Nanti permohonannya harus dicabut oleh pemohon, kalau mau dilanjut mempekarakan, baru memasukkan lagi. Jadi diundur terus, dengan cara-cara yang menurut kawan-kawan pemohon maupun kuasa hukum, mulai tidak wajar,” terang Bivitri.
imbcnews/voa/diolah