IMBCNEWS Jakarta | Perusahaan Milik Badan Usaha Negara, PLN seyogianya terbuka dalam management menentukan harga tarif listrik, karena belakangan ini banyak masyarakat mengeluh akan kenaikan tarif lisrik yang dikenakan perusahaan plat merah itu cukup tinggi.
Keterbukaan itu penting untuk Perusahaan Listrik Negara (PLN) jangan sampai hal sama terjadi seperti di perusahaan Pertamina, terjadi pengoplosan Pertalite dengan besnin yang RON nya lebih tinggi. Hal itu terjadi karena manajemen atau tata kelola dalam perusahaan itu tidak terbuka, kata pengamat energi Muntiyarso Massumarto, Dip. Ing kepada pers di Jakarta, Selasa.
“Mestinya harga listrik di Jawa itu tidak semahal seperti yang ditetapkan PLN saat ini karena kenaikan harga itu cukup membuat sulit, gaduh dan berat sebagian masyarakat yang utamanya berpendapatan tetap atau masyarakat yang penghasilannya tidak tetap yang berada di garis marginal, buruh harian, gojeg dan pekerja outsorcing dalam perusahaan,” kata Munti yang juga mantan aktivis dari ITB Bandung itu.
Ia dimintai tangapannya terkait keluhan masyarakat akan tagihan listrik pada bulan ini tinggi sekali, setelah dua bulan sebelumnya terjadi penurunan, namun setelah tagihan pada bulan ini, naik jumping, dari tagihan Rp300 ribu naik menjadi sekitarRp900 ribu.
Muntiyarso mengutip harga yang ditetapkan PLN disebutkan, harga tarif PLN disesuaikan dengan nilai kurs mata uang rupiah terhadap dolar AS, inflasi, dan harga minyak mentah dunia. Anehnya, bahan bakar yang digunakan PLN menggunakan batu bara yang dihasilkan dari bumi Indonesia, tidak termasuk salah satu tolok ukur penentuan harga.
Bukankah bumi dan air serta kekayaan alam digunakan untuk kemakmuran rakyat? Pembukaan UUD itu jelas, bukan kemakmuran untuk orang atau kelompok. Tetapi rakyat, sehingga tidak elok jika semua aturan referensinya pasar bebas, namun penjulaan hasil bumi dan penggunaan kekayaan alam tidak mencerminkan kepentngan rakyat banyak.
“Kalau PLN menggunakan parameter harga dengan nilai tukar dan harga minyak mentah internasional, kasihan rakyat pengugna listrik karena urusan penguatan rupiah tergantung dari managemen keuangan fiskal negara, apakah negeri ini akan terus melakukan impor produk barang dan jasa atau menggalakkan ekspor dengan kebijakan yang ramah ekspor.
Selain itu, kalau negara tidak jor-joran menghutang ke LN, (hutang dengan mata uang asing) maka rupiah tidak terus tertekan. Jadi jangan rakyat dibebankan biaya akibat salah urus soal fiskal dan keuangan negara.”
Dengan demikian, saatnya buka-bukaan (open management) dalam pemerintahan Prabowo Subianto ini, mumpung presidennya mau terbuka dan mau melakukan pemberantasan korupsi secara serius. “Saatnya semua berani membuka diri, kalau tidak sekarang kapan lagi, nanti waktunya akan lewat, dan akhirnya Indonesia sulit ntuk beranjak naik kelas,” kata Munti
Sebelumnya, warga net dalam akun X banyak yang mengeluhkan, tagihan naik di atas 50 persen pasca terjadi diskon dari PLN. Tagihan yang biasa antara Rp280 – 300 per bulan, saat discon menjadi Rp180 an, tetapi saat ini naik mendekati Rp700 ribu. Kalau seperti itu sebaiknya tidak usah ada diskon, karena harga berikutnya akan menjadikan konsumen kaget dan berat.
Menanggapi hal itu, Vice President Komunikasi Korporat PT PLN (Persero), Grahita Muhammad mengatakan, tarif listrik pada triwulan kedua 2025 tidak mengalami perubahan atau tetap.
“Per tanggal 1 Maret 2025 atau setelah berakhirnya periode diskon tarif listrik 50 persen, maka tarif listrik kembali normal sesuai penetapan pemerintah. Untuk Triwulan kedua 2025 ini tarif listrik tetap tidak mengalami perubahan,” ujar Grahita saat dihubungi pers Sabtu pekan lalu, terkait keluhan tagihan listrik pelanggan PLN yang disebut naik dua kali lipat,.
Grahita meminta masyarakat untuk memastikan pola pemakaian listrik masing-masing, apakah ada keborosan, kebocoran atau penggunaanya secara berlebihan setelah adanya pengurangan 50 persen itu.
imbcnews/diolah/