IMBCNEWS, Jakarta – Pembenahan menyeluruh institusi kepolisian perlu dilakukan termasuk untuk memastikan agar aparat institusi penegak hukum itu tidak mudah menarik pelatuk senjata yang dipegangnya.
“Reformasi penting agar polisi tak lagi berlaku “trigger happy” dengan mudahnya menarik pelatuk pistol, “ kata putri Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Yenny Wahid dalam acara haul ke-15 Gus Dur di Ciganjur, Jaksel, Sabtu (21/12).
Yenny mengingatkan, tugas bersama segenap unsur bangsa untuk mengembalikan polisi menjadi pengayom dan pelindung rakyat, bukan pelindung kepentingan segelintir orang, apalagi melakukan tindakan tercela, terlebih lagi terlibat atau melakukan tindak kriminalitas.
Salah satu keputusan terbesar Gus Dur saat menjabat presiden RI ke-4 dalam menegakkan demokrasi di Indonesia, lanjutnya, adalah memisahkan kepolisian dari TNI.
“Itu bukanlah keputusan yang mudah, mengingat di era Orde Baru, kepolisian dan TNI berada dalam satu komando yang menciptakan potensi penyalahgunaan kekuasaan serta represif terhadap masyarakat.
Gus Dur dengan kejernihan pikirannya, menurut Yenny, sangat paham, untuk mewujudkan negara yang benar-benar demokratis, harus dipastikan, kepolisian menjadi institusi sipil pengayom rakyat, bukan alat kekuasaan yang menindas.
Yenny menyayangka, polisi yang seharusnya melindungi rakyat, dalam beberapa kasus belakangan ini justru terkesan menjadi ancaman bagi masyarakat.
Yenny menyebutkan beberapa kasus kekerasan yang melibatkan kepolisian, seperti peristiwa di SMKN 4 Semarang, Jawa Tengah, 9 Desember lalu serta pembunuhan oleh Brigadir Anton terhadap Budiman, warga Palangkaraya, Kalteng (27/11) hanya karena ia ingin menguasai kendaraan korban .
“Itu contoh-contoh kecil dari para korban abuse of power aparat kepolisian,” ujarnya.
Catatan kelam 2024
Sebelumnya Amnesty Internasional (AI) melaporkan, Polri terlibat 29 kasus pembunuhan di luar hukum dari 116 kasus kekerasan sepanjang Januari – November 2024.
Jika benar, tentu tidak ada alasan bagi institusi Bhayangkara itu untuk tidak segera bebenah diri secara koehensif mencari akar persoalannya sehingga kasus-kasus tersebut tidak terulang lagi.
Menurut Direktur Eksekutif AI Usman Hamid, 31 korban meninggal dunia dalam 29 kasus pembunuhan di luar hukum terjadi di Papua (5), Sumatera Utara (4), Riau (3), Sumatera Selatan (2), Banten (2), dan Aceh (2).
Di Papua, lanjutnya, publik sering mendapat informasi tentang pembenaran, anggota TNI atau polisi berhadapan dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat.
“Tetapi persoalannya, banyak kasus kekerasan oleh aparat kepolisian atau TNI tidak dilakukan dalam konteks konflik bersenjata, melainkan dengan warga sipil biasa yang menjadi sasaran perilaku brutal aparat keamanan,” tandasnya.
Sebagai contoh, pada Januari 2024, polisi menembak mati warga sipil berinisial YS (40), lalu pada Agustus, anggota Brimob Pos Seklai Dekai Yahukimo, Papua Pegunungan, menembak TS (22), staf Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) setempat yang hendak pulang ke rumahnya menunggangi motor.
Aksi pembunuhan di luar hukum juga kerap dilakukan secara kejam. Usman memberi contoh, di Batu Badak, Lampung Timur, Maret lalu, polisi menembak perut pria berinisial R (34) di depan keluarganya hingga tewas, kemudian menyeret jenazah korban masuk ke mobil.
Di luar itu, masih ada 26 kasus penyiksaan dan perlakuan kejam yang dilakukan polisi selama 2024 dengan total 39 korban di 18 provinsi.
Kasus polisi tembak polisi teranyar terjadi saat Kabag Operasi Polsek Solok Selatan, Sumbar AKP Dadang Iskandar menembak mati rekannya AKP Ulil Ryanto (24/11), diduga gegara pelaku kesal, permintaanya membekingi pelaku tambang liar tidak digubris korban.
Sementara bintara Polda Metro Jaya, Aipda Ucok menganiaya ibunya, berinisial HS (61) hingga tewas di kediamannya di Desa Dayeuh,Cileungsi, Kab. Bogor, 1 Des. lalu
Menurut pantauan AI sepanjang 2024, anggota Polri juga terlibat 28 kasus intimidasi dan kekerasan fisik, 21 penangkapan sewenang-wenang, tujuh kali penggunaan gas air mata tak sesuai prosedur, tiga kali penahanan, satu kali penghilangan sementara dan sekali pembubaran diskusi.
Pola kebijakan
Usman menegaskan, angka-angka tersebut menunjukkan semua aksi kekerasan bukan berasal dari ulah oknum polisi yang menyimpang, tetapi hasil pola kebijakan represif Korps Bhayangkara itu.
Hal itu terus berulang karena tidak pernah ada evaluasi menyeluruh, terlebih di level pemberi komando, bahkan tindakan-tindakan yang jelas menyalahi kode etik aparat penegak hukum justru dibenarkan.
“Peristiwa-peristiwa (kekerasan) lapangan bukan disebabkan tindakan sendiri-sendiri atau oknum aparat melanggar perintah atasan, melainkan kebijakan kepolisian. “Police policy,” ujar Usman.
Satu kasus pembunuhan saja, mestinya dijadikan kajian bagi para petiggi Polri untuk melihatnya dari perspekti luas untuk mencegah agar kejadian serupa tidak terulang lagi di unit-unit, satuan atau wilayah lain.
Dari kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat oleh atasannya Irjen Pol. Ferdy Sambo, 8 Juli 2022 yang awalnya dicoba ditutup-tutupi dan baru terkuak setelah orang tua korban gigih menuntutnya dan juga atas desakan publik, semestinya Polri mulai mereformasi dan merombak dirinya secara menyeluruh.
Tanpa reformasi dan perombaan serius, dikhawatirkan kasus demi kasus akan terulang kembali, sementara citra Polri sebagai Korps Bhayangkari yang notabene abdi dan pengayom masyarakat terciderai. (Imbcnews/Theo – diolah)