IMBCNews, Jakarta | Annette Bellaoui, perempuan berkebangsaan Denmark yang lahir dari keluarga ateis ini, tidak pernah berpikir dirinya akan memeluk Islam. Lebih-lebih, dirinya tidak hanya mengakui eksistensi Tuhan, tetapi juga memutuskan untuk berhijab.
Kepada para pembenci Islam atau mereka yang belum mengenal agama ini dengan baik, Bellaoui berbagi cerita. Perempuan 64 tahun ini, menggambarkan kuatnya ateisme keluarga besarnya.
“Saya sering membandingkannya dengan sepatu. Anda tahu ketika memiliki sepasang sepatu yang kekecilan, Anda tetap dapat memakainya dan berjalan-jalan dengannya. Namun, ternyata ada banyak hal yang terus-menerus mengganggu dengan sepatu itu,” kata wanita yang memeluk Islam sejak akhir era 1990-an ini.
Bellaoui berusaha mencari perasaan yang baru dan akhirnya dia menemukannya dalam risalah Islam. Dia mengenal agama tauhid ketika jumlah pengungsi meningkat datang ke negerinya, Denmark. Kondisi itu membuatnya pernah bekerja dengan Muslim ketika berprofesi sebagai koki. Kendati demikian, ia belum benar-benar ingin berganti agama, sampai dirinya pindah ke Maroko.
Bellaoui terbiasa bangun pagi, begitu juga selama tinggal di Maroko. Tepat fajar di hari pertama menginjakkan kaki di negara tersebut, dia merasakan kehangatan yang luar biasa. “Saya masih ingat, wangi udara seperti roti sabit yang baru dipanggang, dan bumi baru menghangat karena saya melihat secercah sinar matahari terbit,” kata dia.
Suara kumandang azan Subuh bergema dari masjid sekitar 100 meter dari tempatnya tinggal. Ini adalah pertama kalinya dia mendengar cara orang-orang Islam memanggil sesamanya untuk beribadah. “Pada saat itu, saya berbicara pada diri sendiri, suatu hari saya akan menjadi Muslim,” ujar dia.
Butuh waktu tiga tahun sejak saat itu untuk dia benar-benar memeluk Islam. Dia bersumpah memenuhi panggilan Allah hingga akhir hayat. Banyak pengalaman yang dihadapi Bellaoui setelah memeluk Islam. Terutama dengan mereka yang terjangkit islamofobia.
Dia masih mengingat dengan sangat baik ketika bertemu politisi Denmark yang terkenal dengan terorika anti-Muslim. Sang politikus berseloroh ketus kepada Bellaoui, “Apa perempuan ini memiliki granat di sakunya? Ada ketakutan dan kemarahan di wajahnya dan tahukah Anda apa yang saya lakukan kepadanya, saya tersenyum manis, dan dia pergi begitu saja,” candanya.
Bellaoui menyadari reaksi islamofobia karena tindakannya yang tidak biasa di kalangan masyarakat Denmark 20 tahun lalu. Apalagi, dia seorang Muslimah dan berhijab serta memakai nama Islam, Fatima Zahra. Reaksi tersebut tidak membuatnya gentar, hingga kini.
Demikian pula kegigihan Bellaoui meng hadapi keluarganya yang ateis. Dia tidak pernah menyerah memegang akidah barunya. Hidup di lingkungan semacam itu tidaklah mudah. Keputusannya memeluk Islam menuai respons negatif dari keluarga.
Mereka masih belum mengerti alasan Bellaoui menjadi Muslimah. Banyak pula mengatakan bahwa Bellaoui telah mengkhianati Denmark dengan budayanya yang “kerarab-araban.” Dia dianggap bodoh karena tidak patuh dengan budaya yang telah mengakar. Orang lain juga berpendapat sama seperti politisi Denmark, yang hanya berasumsi bahwa Muslimah berjilbab atau Muslim pasti seorang teroris.
Tidak hanya dari keluarga, politisi dan lingkungan sekitar, bahkan dia juga harus menghadapi keraguan dari sesama Muslim melihat latar belakang etnisnya. Bellaoui dianggap hanya berpura-pura memeluk Islam karena tidak lahir dari keluarga Muslim atau etnis yang mayoritas beragama Islam.
Namun, dia tidak merasa terganggu dengan reaksi lingkungan di sekitarnya, yang tidak suka karena dirinya memilih Islam. Dia hadapi masalah ini tidak dengan membalas secara negatif. Bellaoui dibesarkan dengan pendidikan yang jauh dari basa-basi. Dia berusaha mengubah pandangan terhadap umat Islam dengan humor dan tersenyum daripada memusuhi atau ketakutan.
Fokusnya bagaimana agar pandangan mereka berubah sehingga mereka dapat menilai kembali arti menjadi Muslim terutama Muslimah. Ini dengan menjelaskan kesamaan mereka sebagai manusia.
Cara dan media yang Bellaoui gunakan sangat menghibur. Bukan melalui dunia akademik, melainkan karya seni dan pekerjaannya di dunia musik. Missing Voices, grup yang Bellaoui dirikan bersama sejumlah seniman Muslimah.
Hal ini dilakukan untuk menantang persepsi di budaya yang sering dianggap oleh Barat meremehkan kekuatan Muslimah. Di samping itu pula, pendekatan sebagai bagian dari Etnis Dane, dia tempuh sebagai modal berkampanye kepada non-Muslim.
Bangga Denmark
Setelah menjadi seorang Muslimah, Annette Bellaoui mengalami penolakan dari keluarganya. Padahal, biasanya ibundanya sudah paham karakteristik dirinya. Jika sudah berkeinginan, akan mengabaikan pendapat siapa pun.
Hingga 20 tahun berlalu sejak keislaman Annette Bellaoui, ibunya masih saja belum memahaminya. Sang ibu masih selalu bertanya-tanya alasan dia berislam atau memutuskan berhijab.
Bagaimanapun, Annette tidak marah menanggapi mereka. Keluarganya hanya menganggap dia agak aneh. “Ketika saya berumur satu setengah tahun, ibu tidak dapat memberi tahu saya apa yang harus dipakai. Apa Anda benar-benar berpikir ada yang bisa memberi tahu saya apa yang harus dipakai sekarang?” tanya dia retoris.
Dia selalu mendapatkan pertanyaan ‘dari mana asalmu’, karena berjilbab. Ketika dia menjawab orang Denmark, mereka kembali bertanya mengapa mengenakan jilbab? Baginya, jilbab adalah sebuah identitas sebagai Muslimah. Dia tidak akan meninggalkannya meski harus menghadapi situasi yang tidak nyaman.
Banyak orang yang mengira bahwa menjadi orang Denmark tidak bisa menjadi Muslim dan ini menjadi rupa konflik tersendiri. Namun, dia berkeyakinan dengan identitas Denmark Bellaoui percaya dia dapat melakukan apa pun yang diinginkan.
Menjadi Muslim dengan identitas etnis Denmark lebih memudahkannya berda’wah mengenalkan Islam. Karena, mereka yang ingin mengetahui Islam tidak khawatir atau takut bertanya karena kesamaan etnis mereka. (Sumber: Republika)