IMBCNews, Jakarta – Usaha untuk menggabungkan BMI dengan BTN syariah jelas akan berujung pada pengabaian amanat konstitusi. Memang dengan di merger itu akan bisa terjadi efisiensi seperti dikatakan salah satu petinggi bank tersebut.
Tetapi efisiensi yang akan terjadi adalah efisiensi yang tidak berkeadilan dan itu jelas tidak sesuai dengan amanat konstitusi, seperti yang terdapat dalam pasal 33 UUD 1945 ayat 4, yang menyatakan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Untuk itu mari kita uji rencana merger tersebut dari perspektif keadilan yang menjadi amanat konstitusi. Kita tahu bahwa struktur dunia usaha kita saat ini dibagi dua saja yaitu usaha besar dan UMKM.
Prosentase usaha besar di negeri ini sebesar 0,01 persen dari total usaha yang ada, sementara UMKM jumlahnya sebesar 99,99 persen. Sekarang mari kita lihat data dan fakta yang ada menyangkut pengucuran kredit dan pembiayaan.
Ternyata dari total kredit dan pembiayaan yang dikucurkan oleh dunia perbankan kepada usaha besar sebelum tahun 2015 adalah sebesar 95% padahal jumlah mereka hanya 0,01 persen dengan jumlah pelaku usaha sekitar 5.550 pelaku.
Adilkah ini? Kalau ada orang di negeri ini yang menyatakan itu adalah adil maka berarti yang bersangkutan falsafahnya jelas bukan lagi Pancasila dan hukum dasar yang dia pedomani tidak lagi UUD 1945 tetapi adalah falsafah ekonomi liberalisme kapitalisme yang itu sudah jelas-jelas tidak sesuai dengan jati diri kita sebagai bangsa yang mencita-citakan terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.
Oleh karena itu, untuk mengurangi ketimpangan dan ketidak adilan pemberian kredit dan atau pembiayaan oleh dunia perbankan, Bank Indonesia telah mengeluarkan PBI no 17/12/PBI/ 2015 tentang pengembangan UMKM dimana di dalam pasal 2 nya dinyatakan, bahwa dunia perbankan harus memberikan kredit dan atau pembiayaan kepada UMKM tahun 2015 minimal sebesar 5 persen, tahun 2016 (10%), tahun 2017 (15%) dan tahun 2018 (20%).
Jadi kalau ketentuan ini diikuti oleh dunia perbankan berarti usaha besar yang jumlahnya hanya 0,01 persen tahun 2018 mendapat kredit/pembiayaan sebesar 80 persen dari total kredit dan pembiayaan yang dikucurkan oleh dunia perbankan nasional, sementara UMKM yang besarnya 99,99 persen hanya mendapatkan 20 persen.
Oleh BI ketimpangan yang masih tajam ini dicoba lagi diatasi dengan dikeluarkannya PBI no. 23/13/PBI/2021 tentang rasio pembiayaan inklusif makroprudensial (RPIM), bagi bank umum konvensional, bank umum syariah dan unit usaha syariah dimana di dalam pasal 3 ayat 4 dikatakan bahwa kewajiban pemenuhan RPIM ini dilakukan secara bertahap dengan ketentuan di poin
b. Paling sedikit sebesar 25 persen pada posisi akhir bulan juni 2023 dan posisi akhir bulan desember 2023; dan
c. Paling sedikit sebesar 30% sejak posisi akhir bulan juni 2024.
Jadi BI sudah menetapkan bahwa di akhir bulan juni 2024, UMKM yang besarnya 99,99 persen mendapatkan pembiayaan sebesar 30 persen dari total kredit/pembiayaan yang dikucurkan oleh dunia perbankan sementara usaha besar yang jumlahnya hanya 0,01 persen mendapat pembiayaan sebesar 70 persen.
Adilkah ini? apakah kebijakan ini sudah sesuai semangatnya dengan pasal 33 UUD 1945 ayat (4) yang menyatakan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi yang salah satu prinsipnya yaitu efisiensi berkeadilan.
Untuk memahami masalah ini maka tidak dapat tidak kita harus bicara tentang pemberdayaan usaha ultra mikro, mikro, kecil, dan menengah yang diselenggarakan sebagai satu kesatuan dari pembangunan perekonomian nasional untuk mewujudkan kemakmuran rakyat.
Tetapi mengapa dalam prakteknya oleh dunia perbankan UMKM dimarginalkan dan termarginalkan? Oleh karena itu kalau seandainya yang menjadi dasar bagi pihak pemerintah dan para banker ketika bicara tentang merger BMI dan BTN syariah itu adalah masalah efisiensi maka mereka harus tahu bahwa konstitusi kita tidak anti terhadap kata efisiensi tetapi yang harus mereka ketahui kata efisiensi di dalam konstitusi tersebut dikaitkan dengan kata berkeadilan.
Ini artinya bahwa perekonomian nasional itu harus diselenggarakan dengan menggunakan sumber daya seminimal mungkin untuk mencapai kemakmuran sebesar-besarnya yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat. Ini artinya pihak pemerintah dan para banker di negeri ini tidak hanya mengucurkan sebagian besar kredit dan pembiayaannya kepada usaha besar saja tapi juga sebesar-besarnya untuk UMKM.
Memang pihak pemerintah dan BI sudah memperhatikan UMKM, tapi UMKM yang mana? sebab UMKM itu terdiri dari usaha ultra mikro, mikro, kecil dan menengah. Tentu pasti yang banyak mendapat perhatian adalah usaha menengah yang besarnya 0,09% dan usaha kecil yang besarnya 1,22% karena merekalah yang bisa punya kollateral dan punya badan hukum.
Lalu bagaimana halnya dengan usaha mikro dan ultra mikro yang besarnya sekitar 64 juta pelaku atau 98,68 persen dari total pelaku usaha di negeri ini Memang ada program mekar yang tujuannya adalah untuk meningkatkan akses finansial bagi para pelaku UMKM tapi siapakah mereka dan berapa jumlah serta prosentase mereka yang benar-benar berasal dari usaha mikro dan ultra mikro?
Jadi dalam kesimpulan saya dunia perbankan di negeri ini termasuk bank-bank BUMN dalam tanda kutip telah tidak lagi memperhatikan konstitusi, karena mereka telah menjadi economic animal bahkan mungkin sudah menjadi orang-orang yang tidak lagi memiliki hati nurani.
Karena mereka tidak lagi peduli kepada sesama terutama mereka-mereka yang terpinggirkan oleh sistim yang ada termasuk juga dalam hal ini oleh bank-bank syariah yang ada seperti bank muamalat dimana masalah dan problema finansial yang mereka hadapi saat ini mungkin sudah merupakan kemurkaan Tuhan kepada mereka karena pihak manajemennya lebih banyak memberikan pembiayaan kepada segelintir orang (Konglomerat) secara besar-besaran sehingga macet dan bermasalah.
Padahal Tuhan sudah mengingatkan kita semua lewat firmannya agar harta dan uang itu jangan hanya dibuat beredar di kalangan segelintir orang-orang kaya saja diantara kamu tetapi harus kita sebar juga kepada yang lain, terutama kepada mereka-mereka yang sangat membutuhkan yaitu usaha mikro dan ultra mikro serta kecil.
Tapi ayat Tuhan itulah yang mereka langgar. Lalu timbul pertanyaan di tengah-tengah situasi seperti itu apakah bank muamalat masih bisa diselamatkan tanpa di merger dengan bank lain?
Jawabnya bisa asal saja pengelolaannya diserahkan kepada orang-orang yang amanah dan profesional serta mau berkorban dengan memotong gajinya sehingga biaya operasional bank tersebut bisa berkurang secara signifikan.
Hal itu bukanlah merupakan hal yang aneh karena hal demikian sudah pernah terjadi dan dilakukan oleh tiga dirut BMI dalam periode-periode awal.
Juga di samping itu yang tidak kalah pentingnya mereka-mereka yang akan dipercaya bagi mengelola BMI itu kedepan haruslah mereka-mereka yang punya komitmen yang kuat untuk menjaga filosofi dan paradigma dari didirikannya BMI itu sendiri yaitu bank yang berasal dari umat, milik umat, bersama umat dan untuk umat yang umumnya berada pada kelompok usaha ultra mikro, mikro dan kecil.
Tetapi kalau kedua bank ini dimerger maka dia akan menjadi bank besar. Dan bila dia sudah menjadi bank besar maka dia tentu akan kembali membiayai usaha-usaha besar sehingga akhirnya kesenjangan sosial ekonomi di negeri ini semakin tajam dan hal itu tentu jelas tidak baik dan tidak sehat bagi perjalanan bangsa ini kedepannya.
Juga di samping itu perlu juga diketahui jika saya mengharapkan agar BMI fokus kepada umat hal itu bukanlah berarti saya ingin menjadikan BMI ini menjadi bank yang eksklusif tapi memang data dan fakta yang ada menunjukkan bahwa keadaan ekonomi umat itu memang sangat tertinggal dan terpuruk padahal jumlah mereka 86,8 persen dari total penduduk di negeri ini.
Jadi berusaha untuk fokus bagi memperbaiki dan mengangkat ekonomi mereka hal itu jelas bukan merupakan sebuah perbuatan yang salah karena berbuat seperti itu sama saja artinya kita telah berusaha untuk memperbaiki dan mengangkat ekonomi nasional serta mengangkat harkat dan martabat bangsa dan negara kita karena jika ekonomi umat islam itu bangkit maka ekonomi bangsa dan negara ini juga akan bangkit dan itulah yang kita harapkan.
Penulis, Anwar abbas
Pengamat sosial ekonomi dan keagamaan
Ketua PP Muhammadiyah
Wakil Ketua Umum MUI