IMBCNews, Jakarta | Sejumlah Deputi Majelis Nasional Prancis menggelar voting pada Rabu (4/12) malam waktu setempat guna membahas mosi tidak percaya yang memaksa Perdana Menteri (PM) Prancis Michel Barnier untuk mengundurkan diri dan membubarkan pemerintahannya.
Sebanyak 331 deputi, sebagian besar dari aliansi partai-partai sayap kiri New Popular Front (NFP) dan partai sayap kanan ekstrem National Rally (RN), memberikan suara setuju, dengan lebih dari 289 suara meminta mosi tidak percaya tersebut diloloskan.
Menurut Konstitusi Prancis, Barnier sekarang harus menyerahkan pengunduran dirinya kepada Presiden Prancis Emmanuel Macron.
Pengunduran diri tersebut akan secara otomatis dianggap telah diterima.
Saat berbicara di hadapan parlemen Prancis menjelang voting, Barnier membela keputusannya untuk memaksakan pengesahan anggaran jaminan sosial tahun 2025.
“Saya mengambil keputusan ini setelah menunjukkan spirit mendengarkan, menghormati, dan berdialog, yang membuat pemerintah memperbaiki naskahnya setiap hari pada beberapa poin penting,” papar Barnier.
Dengan menjelaskan bahwa Prancis sedang terjerumus ke dalam defisit yang sangat besar, Barnier berkata, “Kenyataan ini tetap ada, tidak akan hilang oleh keajaiban sebuah mosi tidak percaya.”
“Realitas ini akan mengingatkan pemerintahan mana pun, siapa pun itu,” lanjutnya.
Menyusul pengumuman keberhasilan mosi tidak percaya ini, mantan pemimpin partai sayap kanan ekstrem Marine Le Pen mengatakan dirinya tidak akan menganggap mosi tersebut sebagai “kemenangan”.
“Keputusan yang kami ambil adalah untuk melindungi Prancis,” ungkap Le Pen kepada televisi Prancis TF1 menambahkan bahwa “tidak ada solusi lain selain solusi ini.”
Presiden Macron pada 9 Juni 2024 mengumumkan pembubaran Majelis Nasional, menyusul kekalahan partainya dalam pemilihan Parlemen Eropa 2024. Karena Macron telah membubarkan majelis rendah pada Juni lalu, dia tidak dapat lagi memainkan kartu yang sama hingga Juni 2025. Majelis Nasional Prancis akan tetap tidak memiliki mayoritas absolut.
Macron kemudian mencalonkan Barnier sebagai PM. Langkah tersebut menuai kritik dari partai-partai sayap kiri, yang mengharapkan seorang kandidat NFP yang sejalan dengan hasil pemilihan legislatif.
Dengan bubarnya pemerintahan Barnier, Prancis kini kembali menghadapi tantangan untuk mencapai pemufakatan anggaran untuk 2025, dengan tenggat waktu kurang dari sebulan.
Saluran berita Prancis BFMTV melansir bahwa Macron akan mencalonkan PM baru “dalam 24 jam ke depan,” karena dia tidak ingin tampil di depan kamera, di depan seluruh dunia, tanpa pemerintahan saat meresmikan katedral Notre-Dame de Paris yang telah selesai dipugar.
Karena Macron telah membubarkan majelis rendah pada Juni lalu, dia tidak dapat lagi memainkan kartu yang sama hingga Juni 2025. Majelis Nasional Prancis akan tetap tidak memiliki mayoritas absolut
Prancis sedang berada dalam masa kritis. Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (Organization for Economic Cooperation and Development/OECD) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Prancis akan melambat dari 1,1 persen pada 2024 menjadi 0,9 persen pada 2025.
Dalam prediksi ekonomi terbarunya, OECD memperingatkan bahwa jika anggaran (untuk 2025) tidak disahkan, ketidakpastian politik akan menghambat pemulihan.
“Selain itu, pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang lebih lemah dari perkiraan dapat mengurangi pendapatan pajak, mengancam kemampuan pemerintah untuk memenuhi target defisit 5 persen,” ungkap OECD.
Menurut estimasi OECD, defisit fiskal Prancis diperkirakan akan meningkat hingga 6,1 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada 2024, naik dari 5,5 persen pada 2023.
Barnier menjadi PM Prancis pertama sejak 1962 yang dipaksa mundur akibat mosi tidak percaya. Setelah kembali dari lawatan resminya ke Arab Saudi, Macron diperkirakan akan menyampaikan pidato nasional pada Kamis (5/12) malam waktu setempat. (Sumber: Antara)