Oleh Dr. Laksanto Utomo, Pengamat Sosial dan Budaya
IMBCNEWS | Jakarta – Hidup itu absurd. Maksutnya, banyak harapan yang ingin dicapai tetap saja tidak mampu untuk sampai dari puncak harapan itu. Tetapi Rosa Widyawan, kini sudah mampu mencapai puncak kehidupan dan cita-cita sesungguhnya karena ia telah menemui sang Khaliq Penciptanya dengan tenang dan senyum. Mudah-mudahan Tuhan, Gusti Allah menerima arwah dan amal kebaikanya, sehingga ia ditempatkan di sisiNya.
Mas Rosa, begitu panggilan akrab teman-teman Press Mas Wawan. Saya kenal cukup lama sejak saat Kuliah Kerjanyata (KKN) di Universitas Diponegoro Semarang, tahun 1980-an di Kabupaten Batang. Tepatnya di Kecamatan Wonotunggal. Gabungan dari beberapa fakultas: Sastra, Hukum, Sospol, Ekonomi, Teknik Sipil, dan Kimia. Mas Rosa selalu membawa kegembiraan dengan setiap malam ke pesta dari desa ke desa dengan menanggap Sintren.
Pulang dari KKN kembali ke kampus menyelesaikan tugas kuliahnya. Setelah lulus masing-masing mengadu nasib. Bergulat dengan kesulitan hidup dan perjuangan masing-masing. Ternyata nasib Mas Rosa lebih beruntung, karena masuk dalam jajaran ASN (pegawai Negeri) yang banyak menjadi dambaan para alumni UNDIP. Ia masuk di LIPI yang kini berubah menjadi lembaga BRINs, ia pekerja tekun sehingga mendapat beasiswa ke Monash University Melbourne, Australia.
Sepulangnya dari ngansu ilmu dari Melbourne, ia biasa nyambi sana dan nyambi sini, karena di gaji di ASN saat itu tak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Ia dan saya bergulat di berbagai media massa dan selalu menulis. Pernah bergabung dengan Mas Bambang Sadono, aktivis Golkar, yang pernah sebagai calon Gubernur Jateng, namun pada akhirnya Rosa tetap setia di LIPI sebagai Pustakawan.
Usai pensiun dari LIPI Mas Rosa, saya,(Laksanto) dan Mas Wurti Woedarto, Theo Yusuf bergabung mendirikan Majalah Media Kampus. Sempat jatuh bangun selama 3 tahun tiarap, sebab tak tahan gempuran dengan media yang punya akses ke pemerintah. Media Kampus mati sebelum bertarung. Tetapi saya punya pengalaman pernah memiliki dan mengelola media, meskipun cuma tiga tahun berjalan.
Selain mengelola media Kampus, ia juga tak meninggalkan tugas sebagai Dosen UIN Jakarta, mengajar Mata Kuliah Adab. Jika mampir kantor di Komplek Mandiri Nawi 23, selalu berbaju koko yang rapih, dengan gaya cengengesan khasnya, “Saya abis mengajar tangan saya jadi tipis, banyak dicium anak-anak… hehehe”. Sekitar tahun 2012-an kantor utama Media Kampus yang nebeng di Lembaga Studi Hukum pindah ke Jl. Haji Nawi.
Lembur Hingga larut malam
Media Kampus di Komplek Mandiri 23, harus terbit tiap minggu. Oleh karna itu setiap jelang deadline, harus siap tidak pulang kerumah, alis tidur di kantor. Lembur malam-malam sebagai Pemred Media Kampus, sudah hal yang rutin.
Seiring perkembangan media massa, maka Media Kampus bermetamorfosa menjadi Legal Era Indonesia masih dimotori oleh Mas Rosa dan Wartawan senior ANTARA Dr. Theo Yusuf. Menjadi agak lumayan karena bergantung dari beberapa perusahaan lembaga keuangan, namun hal itu tak lama karena darah produk pers ternyata iklan dan iklan plus relasi dari Departemen Pemerintahan. Jika keduanya lemah jangan harap pers akan stabil.
Mas Rosa juga sering terlibat penelitian, baik mandiri di LSHI (Lembaga Studi Hukum Indonesia) antara lain ke Sydney dan Melbourne. Acara resminya di Sydney untuk seminar di Gedung Kebudayaan Sydney, terbang dengan pesawat low cost carrier dari Jakarta-Kuala Lumpur-Sydney. Sesampainya di Sydney kami menginap di hotel Budget. Usai jadi pembicara, esoknya kami lanjut menuju ke Melbourne.
Mas Rosa pamer kolega-koleganya di Melbourne, dari pejuang asasi hingga penyiar radio, sampai tempat-tempat tongkrongannya. Menggelandang di hotel low budget di Melbourne. Saat itu bertepatan dengan musim tanding bola tangan tahap final, semua hotel low budget penuh. Sempat ditawari untuk menginap di kediaman sobat Mas Rosa namun kami tolak. Sampai jam 23.00 kami terselamatkan, mendapat kamar kosong. Kami tidak tahu apakah itu bisa tidur dengan kaki selonjor. Yang jelas Wine harus ada, karena Melbourne pada waktu itu cuacanya minus, sangat dingin.
Berkelana dan melakukan penelitian dengan Mas Rosa ada satu spirit, keceriaan, dan satu kesederhanaan yang tak hilang
Beberapa tempat kita bersama-sama melakukan penelitian salah satunya ke Kalimantan, penelitian masyarakat adat Dayak
Beberapa hari melakukan penelitian di pedalaman, hampir tujuh jam dari kota Banjarmasin ditempuh dengan kendaraan darat, Mas Rosa, Mas Irwan dan Lukas anak saya yang paling kecil bergabung di pedalaman beberapa hari tanpa koneksi dan komunikasi ke dunia luar.
Mas Rosa dengan candaannya yang khas selalu memberikan semangat bagi kita semua. Terakhir saya mengajak melihat sunrise di Bromo dan melihat Tengger Semeru. Terakhir sebelum Covid melanda, tahun 2019-2020 kami sempat berkunjung ke Ciboleger, tepatnya di Desa Badui Luar. Ditempuh dengan dengan berjalan beberapa jam, mas Rosa tidak kuat sampai harus ditandu. Meski begitu dirinya masih bisa cengengesan, khas Mas Rosa.
Mas Rosa dan Mbak Tuti sempat diumrohkan kantor, syukurlah Mas Rosa sehat-sehat saja. “Sempat berdoa di depan Ka’bah, saya kira ga diberikan kesempatan ke sana kas, tapi atas bantuan kantor saya bisa di umrohkan…”
Dua tahun masa Covid adalah awal Mas Rosa masuk rumah sakit, dirawat karena gula yang tinggi, diabetes. Semangat Mas Rosa yang selalu cengengesan dan kelakarnya yang memberikan semangat sembuh.
Pun masa Covid Mas Rosa sudah jarang bertandang ke Kantor Nawi lagi, beberapa kali kami berkunjung ke rumahnya dengan membawa potluck. Kami tetap memberikan semangat Mas Rosa agar semangat dan tidak padam.
Ketika saya berkunjung ke Paris dan Berlin, Jum’at lalu ada pesan Whatsapp dari istri Mas Rosa. Beliau memberi kabar Mas Wawan masuk HCU. Saya berdoa dan berharap Mas Rosa diberikan kesehatan dan dipulihkan.
Pada Rabu jam 03.00 WIB atau sekitar jam 22.00 waktu Berlin, Whatsapp dari istri Mas Wawan mengabarkan bahwa beliau sudah menghadap ke Penciptanya. Semoga diterima arwahnya sesuai amal baiknya. “Ududnya teteup pak. Cari-cari tempat yang bisa udud…”, kata Mbak Tuti, sambil tersenyum.
Imbcnews/diolah.