BUKITTINGGI – Di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat sebanyak 947 orang tenaga honorer terdampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
Pemutusan terjadi di beberapa instansi seperti Dinas Pasar dan Perdagangan, Dinas Perhubungan, Satpol PP, serta OPD lainnya.
Meskipun jumlah pasti tenaga honorer yang terdampak kebijakan efisiensi anggaran tersebut belum diumumkan oleh masing-masing OPD, fenomena PHK ini telah menarik perhatian berbagai kalangan.
Salah satunya, Muhammad Fikri, S.H., seorang pemerhati Kota Bukittinggi, menyampaikan pandangannya terkait masalah ini.
Ia menegaskan bahwa kebijakan apapun yang diambil pemerintah harus memprioritaskan kesejahteraan rakyat.
“Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi, atau dalam istilah adagium hukumnya ‘Salus Populi Suprema Lex Esto’,” ujar Fikri, minggu (6/4/2025).
Fikri juga mengutip pernyataan Walikota Bukittinggi, Ramlan Nurmatias, yang dalam sebuah wawancara mengungkapkan bahwa Pemko Bukittinggi sedang menyusun aturan baru sebagai solusi bagi tenaga honorer yang terdampak PHK.
Walikota mengusulkan agar ratusan tenaga honorer tersebut diprioritaskan untuk bekerja melalui jalur outsourcing atau pihak ketiga.
Namun, Fikri menekankan agar pernyataan tersebut tidak hanya berhenti pada ucapan belaka. “Jangan sampai ini hanya menjadi ucapan manis untuk menghibur hati mereka yang sedang terluka,” lanjut Fikri.
Ia juga menyarankan agar para tenaga honorer yang di-PHK segera membuat perjanjian kerja atau nota kesepahaman untuk mendapatkan kedudukan hukum yang jelas, demi kepastian hidup mereka ke depan.
Pemangkasan anggaran yang dilakukan pemerintah pusat ini merupakan bagian dari pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025, yang bertujuan untuk menyesuaikan belanja negara dengan efisiensi anggaran.
Namun, kebijakan ini mendapat tanggapan negatif dari masyarakat, khususnya dari kalangan tenaga honorer yang merasa dampaknya cukup signifikan. Banyak yang khawatir kualitas pelayanan publik akan menurun dan berbagai program yang selama ini berjalan terancam dihentikan.
Dilansir dari Merdeka.com, dalam rapat terkait penataan tenaga non-ASN, Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, menyampaikan kebijakan yang melarang pembayaran gaji honorer pada tahun 2025.
Tito mengingatkan bahwa kepala daerah tidak diperkenankan untuk membayar gaji honorer melalui belanja pegawai maupun item barang dan jasa.
Pelanggaran terhadap aturan ini bisa berujung pada masalah hukum, sesuai dengan ketentuan UU ASN yang mulai berlaku pada tahun 2025, yang menghapuskan tenaga honorer di instansi pemerintah.
Sebagai langkah solusi, pemerintah berupaya mengangkat tenaga honorer yang terdampak menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) melalui seleksi.
Tito Karnavian juga menyarankan agar tenaga honorer yang di-PHK dapat diangkat menjadi PPPK, baik dengan status penuh waktu maupun paruh waktu, agar mereka tetap mendapatkan gaji.
“Pemerintah daerah wajib mematuhi aturan ini agar terhindar dari masalah hukum yang bisa merugikan semua pihak, baik pemerintah maupun tenaga honorer,” tegas Tito.
Meski kebijakan pemangkasan anggaran dan pengurangan tenaga honorer menuai protes di berbagai daerah, pemerintah tetap berupaya mencari jalan tengah dengan mengangkat tenaga honorer menjadi PPPK untuk menjamin keberlanjutan hidup dan kesejahteraan mereka. **