Oleh: Dr. Ahmad Redi, SH MH, MSI
IMBCNEWS Jakarta | Perhitungan hasil pemenang Pilihan Presdien dan Wakil Presiden oleh Komisi Penyelengagra Pemilu akan diumumkan oleh KPU. Sesuai Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022, KPU mempunyai waktu sampai 19 Maret untuk menyelesaikan rekapitulasi penghitungan suara hingga tingkat nasional atau paling lambat diumumkan pada 20 Maret 2024. Aturan itu bagian dari tindak lanjut Pasal 413 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“KPU menetapkan hasil Pemilu secara nasional dan hasil perolehan suara Pasangan Calon, perolehan suara partai politik untuk calon anggota DPR, dan perolehan suara untuk calon anggota DPD paling lambat 35 (tiga putuh lima) hari setelah hari pemungutan suara.”
Itu artinya, jika tidak ada keberatan dari paslon yang dinyatakan kalah, calon pemenang sudah terlihat pada tanggal 20 Maet. Dan setelah tiga hari pasca rekapitulasi KPU, ada surat penetapan MK tentang sipa pemenangnya, dengan syarat tidak ada gugatan pihak lain soal hasil pemilu. Kalaulah ada gugatan, MK mempunyai waktu 14 hari untuk melakukan sidang sengeketa Pemilu. Artinya, pada bulan Mei presiden dan wakl prisiden terpilih sudah dapat di liaht karena pada 20 Oktober 2024 harus ada pelantikan atau serah terima jabatan presiden.
Sampai tulisan ini dibuat, “Hasil Sirekap Pilpres 2024, KPU mencatat data masuk sudah lebih dari 75 Persen dengan perolihan suara Anies 24,27 Persen, Prabowo 58,62 Persen dan Ganjar 17,11 Persen.
jumlah suara itu hampir sama dengan hasil quick count (hitungan cepat) dari tujuh lembaga Survey, termasuk Kompas Group yang mengumumkan Paslon Calon nomor urut dua, Prabowo Subianto unggul dari dua paslon lainnya, mencapai rata-rata di atas 56 persen dari total pemilih. Jika angka itu dapat dipertahankan, maka Preseden RI ke 8 Prabowo Subianto.
Saat ketiga Paslon melakukan kampanye, ketiganya ingin menciptakan pertumbuhan eokonomi dan investasi tumbuh naik, melalui kemudahan sistem pelayanan elektronil atau Online Single Submission (OSS). Sistem perijinan melalui platform digital atau OSS itu, digagas oleh Preiden Joko Widodo dengan mengeluarkan Peratutan Pemerintah (PP No, 24 Tahun 2018) sebagai tindak lnjut dari UU No 23 Tahun 2014 tentang kemudahan perijinan, terakhir disempurnakan melalui UU Cipta Kerja.
Sistem OSS suda banyak diterapkan diberbagai negara maju, sehingga kemudahan para investor untuk beriinvestasi dapat dirasaknnya.
Oleh karenanya, Preiden Joko Widodo yang punya latar belakang seorang pengusaha bergiat dan semangat untuk menerapkan OSS disemua lini lembaga negara yang tugasnya melayani pubik.
Online Single Submission Bukan Sekadar Gimmick
OSS sebelumnya saya tulis dalam laman web “Hukum On Line” tanggal 9 Februari 2024 dengan judul “Benarkah Online Single Submission Sekadar Gimmick ?
Perdebatan substantif antara tim pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sempat mengangkat wacana tentang eksistensi Online Single Submission (OSS). Ada pihak yang menyebut OSS sekadar super gimmick Pemerintah yang berkuasa saat ini. Alasannya karena masih berantakan sehingga tidak dapat dikerjakan secara cepat—bahkan perlu dikerjakan puluhan tahun. Benarkah demikian?
Perlu diingat, OSS hadir sebagai produk kebijakan dalam reformasi birokrasi di Indonesia pada tahun 2017-2018. Hal ini dimulai sejak adanya survei Ease of Doing Business (EODB) oleh World Bank secara berkala. Skor EODB Indonesia setiap tahun menunjukkan masalah kemudahan berusaha pada indikator starting a business. Indonesia berada di peringkat 144 dari 190 negara pada laporan EODB tahun 2018. Hal ini sering dihubungkan dengan permasalahan perizinan dan birokrasi di Indonesia.
Permasalahan serupa juga ditemukan di dalam laporan Global Competitiveness 2017-2018 yang dikeluarkan World Economic Forum. Isinya mengidentifikasi beberapa permasalahan besar untuk berusaha di Indonesia—korupsi, inefisiensi birokrasi pemerintahan, akses pendanaan, keterbatasan infrastruktur keuangan, dan instabilitas kebijakan.
Data itu menunjukkan sejumlah tantangan bagi Pemerintah. Prosedur perizinan kerap menjadi kendala dalam memulai usaha di Indonesia. Kondisi ini berkaitan dengan tidak efektifnya sejumlah birokrasi pelayanan publik untuk menjalankan usaha. Sebabnya antara lain perizinan tersebar dan tidak terkoordinir, jenis perizinan tidak terstandar, memerlukan rekomendasi dari berbagai kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian/pemda, dan tidak terintegrasi secara elektronik. Akibatnya, perizinan menjadi rumit, lama, berbelit-belit, tidak pasti, dan mahal.
Upaya yang dilakukan Pemerintah saat itu dimulai dengan penerbitan Peraturan Presiden No.91 Tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Berusaha. Peraturan Presiden itu untuk mempercepat terobosan dalam kemudahan berusaha. Targetnya menata kembali perizinan di Indonesia agar tidak menjadi hambatan. Penataan ini diwujudkan dalam bentuk pelayanan, pengawalan (end to end), dan peran aktif penyelesaian hambatan pelaksanaan berusaha. Sejumlah satuan tugas pada tingkat nasional, kementerian/lembaga, daerah provinsi, dan daerah kabupaten/kota sengaja dibentuk. Upaya penyederhanaan dilakukan melalui reformasi regulasi. Di sisi lain, upaya mempercepat dan mempermudah pelayanan diterapkan melalui dukungan teknologi. OSS itulah—atau dengan nama lain Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik—yang menjadi terobosan teknologi.
PP No.24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik lalu menyusul terbit untuk melengkapi pengaturan. Isinya mengatur antara lain jenis, pemohon, dan penerbit perizinan; mekanisme pelaksanaan perizinan: pengaturan kembali fungsi Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah; reformasi perizinan; kelembagaan OSS termasuk sistem dan pendanaannya; insentif atau disinsentif pelaksanaan perizinan melalui OSS; penyelesaian permasalahan dan hambatan perizinan melalui OSS; serta pengenaan sanksi. OSS melayani perizinan di seluruh sektor secara terintegrasi, terstandardisasi, mudah diakses, cepat, sederhana, dan murah.
Sebagai sistem yang baru dikembangkan, tentu OSS tidaklah sempurna. Terdapat berbagai masalah di awal pelaksanaannya. Pertama, kapasitas server dan bandwidth masih sangat terbatas. Sistem OSS harus menghubungkan 25 Kementerian/Lembaga, 34 Provinsi, 514 Kabupaten/Kota, 12 KEK, 4 FTZ, dan 87 Kawasan Industri. Sistem OSS saat ini merupakan desain awal yang ditujukan untuk uji coba pada beberapa Kementerian/Lembaga dan 3 Kota (Batam, Palu, Purwakarta). Namun, akhirnya diberlakukan mandatory nation-wide. Pada beban puncak, sistem OSS bisa tidak kuat dan akan down sehingga bisa menghambat pelayanan.
Kedua, koneksi belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Penyebabnya adalah masih kurangnya pemahaman terhadap operasional Sistem OSS. Fungsi unit di dalam Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah dalam mendukung Sistem OSS pun belum sepenuhnya padu. Ketiga, Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah belum sepenuhnya menyelesaikan NSPK (norma, standar, prosedur, dan kriteria) untuk mendukung implementasi sistem OSS. Masih terdapat beberapa NSPK yang belum sepenuhnya sesuai dengan Sistem OSS.
Pemerintah sudah berupaya meningkatkan bandwidth, kapasitas server, security, data dan peta digital yang diperlukan oleh pelaku usaha, serta fasilitas untuk perekaman data. Fasilitas dan fitur Sistem OSS sudah ditingkatkan lebih user friendly. Penyempurnaan NSPK agar efektif mendukung implementasi Sistem OSS dilakukan bersama dengan Kementerian/Lembaga terkait. Upaya menyelesaikan dan menyempurnakan serta meningkatkan bimbingan teknis pada beberapa daerah investasi utama dilakukan. Bahkan melakukan program pemagangan operasional Sistem OSS (dari Kementerian/Lembaga, daerah, asosiasi) telah dilakukan di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Oleh karenanya, Presiden RI ke 8, kalaulah Prabowo Subianto dilantik pada 20 Oktober 2024, penggunaan sistem OSS dapat dipastikan berlanjut terus, guna menumbuh kembangkan iklim investasi dan bukan hanya sekedar melanjutkan proram Presiden Joko Widodo. Tetapi juga program nasional, mempercepat proses perijinan cepat, murah dan efisien serta meminimalisasi pertemuan petugas dengan konsumenya, hingga angka korupsi di Indoneia akan turun.
Penulis, Direktur/Managing Partner Jurist Resia & Co.