Oleh: Marulak Pardede, Peneliti Ahli Utama, dari Pusat Riset Hukum, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Konstruksi Hukum Perjanjian Jual Beli On-line
Berbagai pendapat ahli membedakan antara kesepakatan dan kontrak. Diantaranya Prof. Subekti, perjanjian atau kesepakatan tertulis bisa disebut “kontrak”. Sedangkan kesepakatan tidak harus dilakukan secara tertulis, tetapi bisa dilakukan secara lisan.
Syarat perjanjian dan kontrak pada dasarnya sama. KUH Perdata (BW) menggunakan istilah overrenkomst (kontrak). Overrenkomst dalam bahasa Indonesia hanya diartikan sebagai perjanjian dan bukan kontrak. Prof.J.Satrio mengatakan, Bab II Buku III berjudul, Pertunangan yang lahir dari kontrak atau kesepakatan. Penggunaan kata atau antara kontrak menunjukkan kepada kita, kata kesepakatan dan kontrak menurut Buku III KUHPer, sama dan penggunaannya secara berurutan, disengaja untuk menunjukkan, pembuat undang-undang menganggap kedua istilah itu memiliki arti yang sama.
Terkait jual beli online, ada juga yang menggunakan istilah kontrak online untuk menggambarkan jual beli yang dilakukan melalui jaringan sistem informatika. Menurut dosen bidang Kekayaan Intelektual & Telematika UI, Edmon Makarim, kontrak elektronik yaitu ikatan hukum atau hubungan yang dilakukan secara elektronik. yang menggabungkan jaringan sistem informasi berbasis komputer dengan sistem.
Jual beli online lahir karena adanya kontrak jual beli yang terjadi secara elektronik antara penjual dan pembeli. Namun hingga saat ini aturan jual beli elektronik masih belum jelas tertulis dalam hukum yang berlaku di Indonesia. Ini karena ketentuan hukum perjanjian secara elektronik belum diatur secara khusus.
Pasal 1320 BW, memberi patokan umum tentang bagaimana suatu kesepakatan lahir, menentukan tindakan apa yang harus dilakukan seseorang, sehingga para pihak secara hukum dapat melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka atau pihak ketiga, apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya dianggap sebagai wanprestasi. Wanprestasi diartikan sebagai tindakan para pihak dalam perjanjian jual beli yang tidak sesuai dengan kesepakatan antara para pihak, baik melanggar perjanjian, misalnya produsen mengirimkan barang yang dipesan oleh konsumen tidak sesuai dengan yang tertera pada uraian gambar, atau sesuai gambar tetapi ada cacat yang tidak dikirimkan sebelumnya.
Konstruksi hukum perjanjian jual beli online, pembeli menginginkan barang sesuai keinginan dan menyetujui harga yang ditetapkan oleh pelapak, dibentuk melalui proses komunikasi elektronik, pesan elektronik yang dikirim harus dibalas dengan mengirimkan pesan balasan untuk memberitahukan telah menerima pesan elektronik.
Penjual mengabulkan keinginan pembeli. Kesepakatan telah terjadi mengenai barang dan harga yang telah dicantumkan. Nieuwenhus menyebutkan, pernyataan kehendak yang menghasilkan kesepakatan dibedakan antara penawaran (aanbod, offerre) dan penerimaan (aanvaarding, acceptatie). Tawaran dirumuskan sebagai pernyataan niat yang berisi proposal untuk mengadakan kesepakatan yang akan ditutup.
Menurut Nieuwenhus, penipuan merupakan salah satu bentuk kesesatan yang memenuhi syarat, dikatakan bahwa ada kecurangan jika gambar yang salah dari sifat dan keadaan (bid’ah) disebabkan oleh perilaku lawan atau wakilnya yang dengan sengaja menyesatkan.
Wanprestasi dan Perlindungan Hukum Konsumen.
Perlindungan hukum konsumen di bidang hukum privat terdapat dalam Buku III BW tentang perikatan: wanprestasi (Pasal 1243-1252), perjanjian yang lahir karena perjanjian (Pasal 1313-1351), dan perikatan yang lahir dari hukum/UU (Pasal 1351-1369), khususnya perbuatan pelanggaran hukum diatur dalam Pasal 1365-1369.
Terjadinya wanprestasi, mengganti kerugian kreditu. Jika perjanjian muncul dari perikatan timbal balik, kreditur dapat meminta pembatalan (penghentian) perjanjian. Sebagai upaya perlindungan kepada konsumen transaksi elektronik, diatur dalam UU. No.19 Tahun 2016 jo. UU.No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal 15 UU ITE menyatakan, Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyelenggarakan Sistem Elektronik dengan andal dan aman serta bertanggung jawab atas penyelenggaraan Sistem Elektronik dengan baik.
Ketentuan dimaksud tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan adanya suatu keadaan yang mengakibatkan kesalahan dan/atau kelalaian dari pihak pengguna Sistem Elektronik. Pasal 65 menentukan: setiap Pelaku Usaha yang memperdagangkan barang dan/atau jasa dengan sistem elektronik wajib menyediakan data dan/atau informasi yang lengkap dan benar; Setiap Pelaku Usaha dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa yang menggunakan sistem elektronik yang tidak sesuai dengan data dan/atau informasi sebagaimana diatur dalam PP nomor 80 Tahun 2019.
Ketentuan yang secara khusus mengatur tentang perlindungan konsumen diatur dalam UU.No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menurut H.Ahmad M. Ramli, perlu dibuat aturan pelaksanaan perlindungan konsumen termasuk perlindungan konsumen online dengan mengadopsi prinsip perlindungan konsumen aturan UN, dan Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).
Dalam praktiknya, UUPK belum sepenuhnya melindungi konsumen dalam bertransaksi elektronik. Kondisi ini dikarenakan UUPK belum mengatur implementasi lebih lanjut dari pengertian perlindungan konsumen yang meliputi perlindungan konsumen online, hak atas informasi yang harus diberikan kepada konsumen melalui media online untuk mencegah terjadinya tindakan penipuan, penyalahgunaan kartu pembayaran milik orang lain, Tanggung jawab pelaku usaha yang meliputi tanggung jawab menjawab Internal Service Provider, beban pembuktian elektronik, dan menyelesaikan sengketa melalui sarana teknologi informasi.
Dewasa ini, terdapat kecenderungan untuk memilih forum arbitrase. Pasal 49 UUPK, BPSK dibentuk di Daerah Tingkat II, diangkat oleh Menteri.
Langkah Terobosan Hukum Penyelesaian Sengketa.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dikenal dengan Alternative Dispute Resolution (APS) diatur dalam Pasal 1 UU.No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang mengartikan: arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum, berdasarkan perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang berselisih.
Arbitrase sejatinya kurang tepat dipakai menyelesaikan sengketa perjanjian jual-beli online, karena hanya berupa penawaran dan penerimaan dalam bentuk percakapan internet informal. Penyelesaian dalam bentuk arbitrase harus terlebih dahulu memiliki kesepakatan formal dimana kesepakatan tersebut telah menentukan pilihan lembaga jika terjadi perselisihan antar para pihak.
Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Pasal 1 UU Arbitrase dan APS mendefinisikan lembaga penyelesaian sengketa atau perbedaan pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, penyelesaiannya di luar pengadilan melalui musyawarah, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Pasal 6 menyebutkan, perselisihan pendapat perdata, dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa berdasarkan itikad baik dengan mengesampingkan litigasi di Pengadilan Negeri, diselesaikan secara rapat langsung oleh para pihak dalam jangka waktu paling lama 14 hari dan hasilnya dituangkan dalam kesepakatan tertulis.
Sedangkan mediasi adalah prosedur perantara, di mana seseorang bertindak sebagai wahana untuk berkomunikasi di antara para pihak, sehingga pandangan berbeda tentang sengketa, dapat dipahami dan mungkin direkonsiliasi, tetapi tanggung jawab utama untuk mencapai perdamaian tetap pada para pihak itu sendiri. The Black Law Dictionary mendefinisikan mediasi sebagai: sebuah metode penyelesaian sengketa yang tidak mengikat yang melibatkan pihak ketiga yang netral yang mencoba membantu pihak yang berselisih mencapai solusi yang disepakati bersama (Pasal 6 ayat (3), (4), (5) dan (6) UU Arbitrase dan APS).
Akan tetapi mengingat kesibukan dan situasi di perkotaan, terutama di tengah pandemi Covid-19 beberapa waktu lalu, pertemuan dengan para pihak harus dihindari guna mengurangi penularan pandemi virus Covid-19.
Oleh karena itu, perlu dicarikan langkah terobosan hukum untuk membuat aturan pelaksanaan dari UU. Arbitrase dan APS yang dalam penyelesaian sengketa konsumen dalam jual beli online dan layanan perbankan dapat dilakukan secara virtual.
Melalui pendekatan teknologi informasi ini, akan dapat membantu penyelesaian sengketa konsumen secara lebih efisien tanpa perlu datang secara fisik ke tempat pertemuan yang telah ditentukan. Hasil kesepakatan para pihak saling mengikat kedua belah pihak.
Berbagai kasus perbankan, seperti: perlindungan simpanan nasabah, kartu kredit, asuransi simpanan, wanprestasi, klaim ditolak, masalah pinjam meminjam uang, perjanjian jual beli online yang bahkan melibatkan negara lain dan layanan perbankan, dll, adalah contoh kasus yang dapat diajukan ke lembaga mediasi, sesuai dengan UU.No.10/1998 tentang Perbankan juncto Peraturan OJK No.1/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, yang mengatur: semua sektor perbankan dan perusahaan pembiayaan wajib memiliki Lembaga Penyelesaian Sengketa Alternatif. Kehadiran lembaga mediasi penyelesaian sengketa keuangan melalui jaringan virtual on-line: shutterstock.com, yang didirikan 6 asosiasi perbankan: Perbanas, Asbanda, Perbarindo, Asbisindo, dan Perbina, merupakan jawaban masalah penyelesaian sengketa.
Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) di bidang jasa keuangan, memiliki kebebasan untuk melaksanakan kebijakan OJK melayani penyelesaian sengketa di seluruh wilayah Indonesia (SE.OJK No.7/SEOJK.07/2015. Muhamad Djumhana, mengemukakan, dengan terjaminnya kerahasiaan semua data publik yang terkait dengan bank, masyarakat akan mempercayai bank, dan menggunakan jasa bank.
Metode jalan tengah telah dimulai dengan PBI No.7/7/PBI/2005 jo. No.8/5/PBI/2006 jo No.10/1/PBI/2008. Intinya, terdapat peluang mediasi antara bank dengan nasabah dimana Bank Indonesia memfasilitasi mediasi ini, dengan nilai permintaan finansial maksimal Rp.500 juta. Mengingat pesatnya perkembangan teknologi informasi dalam bisnis perbankan dalam situasi dan kondisi global saat ini, sudah selayaknya dilakukan penyempurnaan hukum penyelesaian sengketa bisnis perdata, baik secara nasional terutama di lingkup global, melalui mediasi virtual sebagai langkah terbosan hukum permasalahan penyelesaian sengketa, menjadi alternatif pilihan.
Semoga.
Email: [email protected].