IMBCNews, Jakarta | Mantan Kepala Staf Umum tentara pendudukan Israel, Letjen (Purn) Dan Halutz, mengatakan bahwa “Israel” kalah perang melawan Hamas. Haluts menyebut, tidak akan ada gambaran kemenangan karena adanya cerminan hilangnya 1.300 nyawa dan 240 tahanan.
Halutz yang pernah menjabat sebagai panglima Angkatan Udara Israel ini mengatakan, satu-satunya kemenangan yang bisa diraih adalah mundurnya Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, seperti dilaporkan kantor berita Lebanon Al-Mayadeen yang dikutip IMBCNews dari portal Republika di Jakarta.
Koresponden Channel 14 Israel, Yishai Friedman, merilis rekaman percakapannya dengan Halutz di ‘Haifa’ dengan aktivis protes anti-pemerintah, yang terjadi selama perang. Dalam percakapan tersebut, Halutz menyatakan, “Tidak akan ada gambaran kemenangan karena gambar tersebut mencerminkan hilangnya 1.300 nyawa dan 240 tahanan, meski pun mereka telah kembali, dan sekitar 200.000 pengungsi yang gagal kembali ke rumah mereka.”
Halutz melanjutkan dengan menyatakan, “Bagi saya, gambaran kemenangan adalah ketika Perdana Menteri Netanyahu mengundurkan diri.”
Agresi militer Israel ke Gaza memang telah membuat kerugian signifikan di kubu tentara penjajah. Lonjakan tentara Israel yang tewas diiringi peningkatan jumlah tentara yang terluka. Bloomberg melaporkan, peningkatan pesat jumlah korban luka di kalangan tentara Israel mengerek “biaya yang tidak terlihat” dalam perang tersebut.
Ketua Organisasi Veteran Penyandang Disabilitas, Edan Kleiman, mengatakan kepada Bloomberg, jumlah korban cedera mungkin akan meningkat menjadi sekitar 20.000 jika tentara yang mengalami trauma dihitung.
Kleiman juga menambahkan bahwa ini menandai pertama kalinya Israel menyaksikan begitu banyak korban luka yang harus direhabilitasi. Menurut dia, pihak berwenang Israel tidak menyadari betapa parah masalah yang menimpa para tentara. Sementara itu, jumlah total pasukan pendudukan Israel yang terbunuh sejak 7 Oktober kini mencapai 501 orang, menurut militer Israel.
Keinginan Netanyahu untuk melenyapkan Hamas secepat-cepatnya memang berbeda dengan realitas di lapangan. Netanyahu mengakui negaranya menanggung konsekuensi berat akibat pertempuran melawan Hamas di Jalur Gaza. Namun Netanyahu kukuh akan melanjutkan peperangan di sana.
“Perang ini menimbulkan konsekuensi yang sangat berat bagi kita. Tapi kita tidak punya pilihan selain terus berjuang,” kata Netanyahu dalam rapat kabinet membahas perang Gaza, Ahad (24/12/2023), dikutip laman Anadolu Agency.
Sikap gamang Netanyahu dan mulai retaknya Kabinet Perang tampak saat dia membatalkan sidang kabinet untuk membahas rencana soal langkah yang akan diambil Israel “sehari setelah perang” di Jalur Gaza, belum lama ini.
Pertemuan kabinet itu sendiri sebelumnya dijadwalkan akan berlangsung pada Kamis (28/12) malam, namun akhirnya batal setelah ada tekanan dari mitra-mitra dalam pemerintah koalisi.
Stasiun penyiaran resmi Otoritas Penyiaran Israel serta saluran televisi Israel berbahasa Ibrani, Channel 12, melaporkan bahwa Netanyahu pada menit-menit terakhir memutuskan untuk tidak membahas apa yang akan terjadi pada hari setelah perang di Gaza berakhir.
Pembahasan yang dimaksud itu mengacu pada rencana yang kemungkinan akan dibuat oleh pemerintah Israel menyangkut Jalur Gaza pascaperang. Perang di wilayah itu kini telah berlangsung lebih dari 2,5 bulan.
Laporan itu menyebutkan bahwa mitra-mitra dari pemerintah koalisi memberikan “tekanan signifikan” terhadap Netanyahu untuk membatalkan pembahasan tersebut.
Sebelumnya pada Kamis, media Israel melaporkan bahwa kabinet perang bermaksud membahas hari setelah perang di Gaza meski pun ada tentangan dari dua menteri kubu sayap kanan.
Partai Zionis Religius sayap kanan yang dipimpin oleh Menteri Keuangan Bezalel Smotrich dan partai ultranasionalis Kekuatan Yahudi yang dipimpin oleh Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir mengumumkan menolak pembahasan masalah itu. Penolakan itu didasarkan atas alasan bahwa “dewan kurang memiliki wewenang“, menurut surat kabar Yedioth Ahronoth.
Kedua menteri, yang tidak termasuk anggota kabinet perang, beberapa kali mengancam akan mundur dari pemerintahan dan membubarkannya jika perang di Gaza dihentikan sebelum kelompok Palestina Hamas dilenyapkan dan sandera-sandera Israel yang ditahan di Gaza dibebaskan.
Ahmed Helal, direktur Timur Tengah dan Afrika Utara di Global Counsel, mengatakan kepada Aljazirah bahwa pembatalan rapat kabinet perang sudah “sudah lama terjadi” karena kekuatan militer dan elit politik semakin terpisah.
“Elite militer semakin merasa tidak nyaman selama 10 tahun terakhir, dan mereka sama sekali bukan orang yang cinta damai – mereka bukan orang yang pasif. Namun mereka memahami apa yang penting secara strategis bagi Israel, dan mereka telah menentang ambisi pemerintah sipil yang terlalu militeristik,” kata Helal. (Sumber: Republika dll)