Pembentukan produk hukum DPR harus sesuai kebutuhan masyarakat.
IMBC News | Sektor hukum harus direformasi total demi mengembalikan hukum sebagai panglima. Setidaknya terdapat tiga aspek. Pertama, bagaimana hukum dijalankan melalui proses pembentukannya di DPR. Pembentukan produk hukum DPR harus sesuai kebutuhan masyarakat.
Kedua, aparat penegak hukum harus menjalankannya secara profesional dan independen. Terakhir atau ketiga, masyarakat juga perlu memiliki kultur taat kepada hukum.
“Reformasi total di bidang hukum mencakup semua aspek hukum. Bagi saya ada tiga hal di sini,” kata Mantan Hakim Agung, Gayus Lumbuun Gayus di acara webinar bertajuk “Reformasi Total sebagai Negara Hukum Guna Menyelamatkan NKRI” yang digelar Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) dan Lembaga Eksaminasi Indonesia di Jakarta Selatan, Kamis 1 Desember 2022.
Ia melihat persoalan hukum di tanah air hari-hari ini ada di struktur. Bagaimana struktur atau penegak hukum tidak menjadikan masyarakat menerima dengan baik, mulai dari mulai kepolisian, kejaksaan dan hakim.
Gayus lebih spesifik berbicara persoalan hakim atau peradilan di negeri ini. Menurutnya,jika berbicara hukum, tentu akan membahas tujuan hukum, yakni membuat masyarakat menjadi tertib hasil dari pengaturan dan penegakannya.
“Tapi bagaimana mau tertib kalau ketertiban yang diharapkan oleh putusan peradilan itu mengecewakan. Bahkan dua orang hakim agung ikut terseret,” katanya.
Menurut Gayus, terseretnya dua hakim agung Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh dalam pusaran korupsi, yakni menerima suap terkait jual beli perkara di Mahkamah Agung (MA), menunjukkan bahwa penegak hukum yang diagungkan sudah tidak agung lagi.
Ia menjelaskan, dampak tersebut sangat berpengaruh ke berbagai hal, termasuk bidang investasi. Keterlibatan hakim, termasuk hakim agung membuat investor tidak mau menanamkan modal di Indonesia.
“Kegiatan pembangunan akan terganggu, mereka khawatir kalau melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia, tentu akan berpotensi konflik di bidang hukum. Tapi tidak bisa memberikan jaminan sampai tingkat MA saja seperti ini,” ujarnya.
Gayus berpandangan, pembantu presiden harus menjalankan perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) yakni reformasi. “Mungkin administrasi peradilan, mungkin penegak hukum di peradilan itu,” katanya.
Sementara itu, Ketua Lembaga Eksaminasi Indonesia, Laksanto Utomo, mengatakan, webinar ini merupakan seri ketiga yang dihelat APPTHI dan Lembaga Eksaminasi Indonesia untuk memberikan masukan kepada pemerintah agar segera melakukan reformasi atau perbaikan di bidang hukum.
“Tadi di grup WA ada yang menanyakan seberapa gawat kondisi penegakan hukum di Indonesia,” Laksanto menuturkan.
Pria yang karib disapa Laks ini mengaku sedih mendapat pertanyaan seperti itu, terlebih itu dilontarkan seorang lawyer.
“Saya kebetulan ngajar Hukum Etika Kedokteran, kemudian di S2 di UPN, mereka menanyakan, ‘Pak kalau penjaga etika polisi, Divisi Propam melakukan pelanggaran apa yang terjadi di negara kita?” ucapnya.
Pertanyaan ini sangat memukul dan membuat bingung menjawabnya karena penjaga etika saja melakukan perbuatan yang sangat jauh dari etika, mau jadi apa negara ini dan apa “obatnya?”
Pertanyaan selanjutnya, ada dua hakim agung yang terkena kasus suap. Pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat membuat miris karena kondisi hukum di negeri ini tengah berada di titik nadir.
“Kalau bisa saya tidak mengajar Etika Profesi Kedokteran, supaya ganti yang lain, Etika Hukum Kesehatan. Itu beban berat bagi seorang dosen yang kebetulan berprofesi juga dalam penegakan hukum di Indonesia,” katanya. ***