Oleh: Asyaro G Kahean
Dalam pembinaan dan pembentukan karakter itu, konsepsi yang berkembang terekam juga pada jejak da’wah Islam berkemajuan yang diusung persyarikatan sejak kelahirannya; Tak lain, telah menjadi bagian atas upaya untuk lebih menguatkan nilai-nilai dasar insani; Yaitu, mengedepankan nilai bersifat fithrah yang dibawa semenjak kita lahir ke dunia.
Manusia, sejak dalam kandungan telah dipandangkan melalui Alqur-an, sebagai sebuah rangkainan pada perwujudan atas komitmen; Antara manusia sebagai makhluk dengan Allah sebagai Alkhaliq.
Komitmen ini terikat erat, sekali pun anak manusia telah melewati masa-masa dalam rahim seorang ibu. Oleh karenanya, perlu untuk dilakukan penguatan-penguatan komitmen tersebut selama menjalani alam fana; Supaya, manusia tetap lurus dalam berprilaku, beramal kebaikan (beriman dan berlaku shalih), bersedia mengikuti dan mematuhi perintah dari Allah (wahyu), serta bersedia pula menjauhi, meninggalkan atau menghambat laju segala jenis laranganNya.
Praktik mematuhi perintah dan larangan, dalam jejak da’wah persyarikatan adalah mengacu kepada beragam amaliah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad Saw.
Dalam hal tersebut, arah yang dituju secara umum dalam gerakan yang diusung Muhammadiyah bahwa: Allah Ta’ala adalah sebagai tujuan utama di atas komitmen yang berketetapan untuk menjaga nilai fithrah diri dengan tuntunan wahyu; Sebagaimana firmanNya, antara lain, dalam Surat Al-Ruum ayat 30;
Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. Al Ruum: 30)
Muhammadiyah, semenjak didirikan hingga perjalanan satu abad lebih, telah menjadi organisasi yang konsen pada pengembangan nalar yang selalu ruju’ kepada Alqur-an dan Sunnah Makbullah. Maka, sekali pun pada sistem kenegaraan yang nuansanya lebih kuat berada pada hal-hal yang umumnya bertitik berat pada situasi yang disifati kemanusiaan dan kebudayaan, sebagaimana regulasi-reguliasi yang berlaku di tanah air, tidaklah serta-merta dipandang oleh Muhammadiyah sebagai penghambat da’wah Islam.
Dalam hal terkhir disebut diatas, persyarikatan selalu berposisi semacam ditantang situasi guna pengambil peran-peran penting bermekanisme problem solving; Di mana peran itu mendorong dilakukannya tajdid guna menemukan cara mengidentifikasi dan menemukan solusi yang efektif, untuk mengatasi masalah-masalah yang sedang dihadapi organisasi atau pun ummat manusia di lingkup bangsa dan negara bahkan adakalanya luar negeri (peradaban semesta). | Bersambung….