IMBCNEWS, Jakarta | Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Kepala Badan Pencarian dan Pertolongan Nasional (Kabasarnas) Marsekal Madya Henri Alfiandi sebagai tersangka dugaan suap, dimaksudkan untuk meningkatkan marwah namun lembaga anti rasuah itu gagal lantaran timingnya atau waktunya tidak tepat.
Selama ini banyak pihak meyakini, KPK sudah menjadi bagian alat poltik untuk menyandera seseorang. Akhirnya, banyak orang tak lagi percaya akan penangkapan atau OTT yang dilakukan KPK.
“Nah saat ia melakukan OTT ke Kabasarnas dan salah satu asistennya, ia didatangi oleh Dan Puspom dan anak buahnya hingga Wakil Ketua KPK Johanis Taknak meminta maaf,” kata Aspardi Piliang, SH MH Anggota Tim Hukum Nasonal Pembela Anies Baswedan kepada IMBCNews di Jakarta, Ahad (30/7).
Masyarakat, selama ini, lebih percaya bahwa TNI bersikap netral dan profesional. Karena itu, sebut Aspardi, saat KPK ingin “ngerjain” TNI mendapat perlawanan dari TNI itu sendiri; Dan TNI, juga masih punya dukungan di masyarakat akibat ulah KPK yang kadang kala tidak profesional seperti ingin mengotak-atik pelaksanaan balap mobil listrik di Sirkuit Ancol Jakarta Utara, hanya karena ingin menggagalkan Anies sebagai calon presiden (pada Pilpres tahun 2024) yang punya visi beda dengan pemerintah saat ini.
“Cara kerja KPK seperti itu tidak populer. Sehingga, saat ia melakukan OTT ke tubuh TNI, mendapatkan reaksi negatif,” kata Aspardi yang biasa dipanggil Jack itu. Ia dimintai tanggapannya tentang adanya konflik di tubuh KPK terkait pernyataan minta maaf kepada publik dan Panglima TNI dari Wakil Ketua KPK Johanis Tanak beberapa waktu lalu.
“KPK minta maaf atas kesalahan dari tim penyidik yang kurang hati-hati dalam melakukan OTT. Kami menyampaikan maaf kepada Panglima TNI,” kata Johanis Tanak.
Menurut Jack Aspardi yang juga Bacaleg Partai Ummat DPRD Sumatera Barat, kejadian itu sebaiknya dijadikan momentum untuk melakukan perbaikan prilaku KPK agar tidak menjadi mesin politik dari orang-orang yang punya pengaruh besar di KPK. Dan KPK, harus netral dalam menegakkan hukum.
“Jangan pilih tebang, jangan tumpul dengan yang dianggap kawan tetapi tajam dengan yang dinilai lawan. Hal itu tidak akan sehat dalam usaha penegakan hukum terkait pemberantasan korupsi,” tegas dan harap Jack Aspardi.
Ia katakan, salah satu caranya adalah melakukan rekruitmen utamnya para penyidik tidak hanya terbatas pada Kepolisian, dan Jaksa. “Akan tetapi juga harusnya melibatkan penyidik dari anggota TNI,” saran dia.
Lebih lanjut, Jack Aspardi mengemukakan, koordinasi itu penting untuk dilakukan agar jika ada kasus yang sama tidak seperti yang terjadi pada saat ini, lantaran tim penyidiknya dinilai dari sipil sementara TNI menganggap mempunyai mekanisme sendiri dalam menangani kasus korupsi.
“Saya berharap, anggota TNI juga bisa menjadi penyidik dan anggota Komisioner KPK guna meningkatkan kapasitas kelembagaan itu. Karena, adanya UU No 19 Tahun 2019 tentang KPK memungkinkan hal tersebut,” jelasnya.
Menjawab pertanyaan, Apardi mengatakan, Pasal 65 ayat 2 dalam UU 34 Tahun 2004 tentang TNI menegaskan bahwa yurisdiksi peradilan militer hanyalah untuk jenis tindak pidana militer. Sedangkan untuk tindak pidana umum, anggota TNI juga tunduk pada peradilan umum.
“Dalam hal lain juga, ada pengadilan koneksitas yakni, meski pun ia sebagai anggota TNI, dapat juga diadili di peradilan umum seperti kasus hukum yang bernuasa ekstra ordinary crime,” katanya.
Sebelumnya, ada pernyataan dari Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi, mengkritik ralat tersangka dan permintaan maaf yang dilakukan KPK terkait kasus dugaan korupsi di Basarnas yang menjerat Kabasarnas Marsdya Henri Alfiandi. Hendardi menilai, KPK lemah dan tak kuasa mendapat tekanan dari TNI.
“Peristiwa klarifikasi dan permintaan maaf atas penetapan tersangka anggota TNI, suatu tindakan hukum yang sah dan berdasarkan UU, adalah puncak kelemahan KPK menjaga dan menjalankan fungsinya secara independen.
KPK memilih tunduk pada intimidasi institusi TNI, yang sebenarnya bertentangan dengan prinsip kesamaan di muka hukum sebagaimana amanat Konstitusi. Peristiwa ini, juga menunjukkan supremasi TNI masih teramat kokoh, karena meski pun tertangkap tangan melakukan tindak pidana korupsi, korps TNI pasti akan membela dan KPK melepaskannya,” ujar Hendardi kepada wartawan, Sabtu pekan lalu. (Tys/Asy)
.