IMBCNews – Jakarta – HASIL pengamatan teleskop yang dilakukan di stasiun BMKG Bandung, Sabtu, 29 Maret yang dijadikan dasar penentuan lebaran, Minggu, tanggal 30 Maret belum masuk 1 Syawal 1446H.
Data Hilal Kota Bandung pada 29 Maret 2025 : Tinggi hilal: -1° 53,89’ Elongasi: 1° 3,69’ Fraksi iluminasi: 0,03 pesen dan Umur bulan: -0,03 jam.
Dengan kondisi tersebut, hilal diperkirakan masih berada di bawah ufuk sehingga kemungkinan besar belum dapat dilihat pada 29 Maret.
Berdasarkan amanat UU No. 31 Tahun 2009, Stasiun Geofisika Bandung akan menyampaikan informasi resmi tentang hasil pengamatan hilal saat matahari terbenam.
Metode rukyat dan hisab
Dalam menentukan hilal (posisi bulan sabit baru) 1 Syawal Idul Fitri, para ahli menggunakan dua metode yaitu rukyat dan hisab.
Metode rukyah (pengamatan) hilal dilakukan melalui pandangan mata. Ada batas minimal hilal yang memungkinkan untuk dilihat dengan pengamatan mata, yakni dua derajat. Bila di bawah ketinggian dua derajat, secara teoritis hilal mustahil diamati dengan mata. Sebaliknya jika lebih dari dua derajat, secara teoritis hilal memungkinkan dilihat dengan mata telanjang.
Sementara Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) dalam lamannya menyebutkan, rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal dengan mata telanjang atau alat bantu optik seperti teleskop.
Rukyat dilakukan setelah matahari terbenam. Sementara itu, hisab adalah metode perhitungan hilal secara matematis dan astronomis.
Sedangkan merujuk laman infoastronomy.org, hilal adalah istilah dari bahasa Arab yang berarti Bulan Sabit, namun tidak semua bulan sabit disebut hilal.
Hanya bulan sabit pertama kali yang dapat dilihat dengan mata telanjang maupun alat bantu pengamatan, setelah terjadi konjungsi atau fase bulan baru pada arah dekat Matahari terbenam yang disebut hilal.
Kepala Pusat Seismologi Teknik, Geofisika dan Tanda Waktu BMKG, Rahmat Triyono menjelaskan, proses atau mekanisme pengamatan (rukyat) hilal yang dilakukan oleh BMKG adalah untuk mendukung penentuan awal bulan Qomariah (Hijriyah).
Proses pengamatan dimulai 3 (tiga) jam sebelum matahari terbenam (maghrib/sore hari) sampai dengan dengan 30 menit setelah bulan terbenam (malam hari setelah maghrib).
Pengamatan ini dilakukan dengan memanfaatkan teleskop yang dihubungkan dengan komputer dan kamera serta dipadukan dengan teknologi informasi.
Saat pengamatan dilaksanakan, kecerlangan cahaya Hilal akan direkam oleh detektor yang dipasang pada teleskop yang secara otomatis mengikuti berubahnya posisi Bulan di ufuk Barat.
Dengan teknologi informasi, data tersebut langsung dikirim ke server di BMKG Pusat, untuk kemudian disimpan dan disebarluaskan kepada masyarakat secara online (live streaming) ke seluruh dunia melalui http://www.bmkg.go.id/hilal.
Metode hilal
Metode kedua yang digunakan untuk melihat hilal adalah wujudul hilal yang umumnya digunakan oleh organisasi masyarakat Muhammadiyah.
Wujudul hilal merupakan metode yang menganggap hilal di atas cakrawala. Dengan patokan ini, berarti berapapun ketinggian hilal, meski nol koma sekian derajat, asal sudah di atas cakrawala, berarti malam itu sudah masuk bulan baru dalam kalender Hijriah.
Perbedaan kedua metode inilah yang kadang membuat awal Ramadhan dan Idul Fitri di Indonesia berbeda hari walau hal itu tidak terlalu mengganggu kerukunan sesama umat Islam kecuali waktu kunjung-mengunjungi.
Selamat Idul 1446H bagi yang merayakannya, semoga kualitas umat Islam meningkat di hari kemenangan ini setelah ditempa selama sebulan penuh menahan lapar dan dahaga. (imbcnews/Theo/sumber diolah: kompas.com/ns)