BUKITTINGGI – Masyarakat Sumatera Barat, sebagai bagian utuh dari suku Minangkabau, terus menunjukkan komitmen kuat dalam menjaga dan melestarikan budaya mereka yang sarat nilai dan makna.
Dikenal sebagai komunitas yang menjunjung tinggi adat dan tradisi, orang Minang tetap mempertahankan sistem kekerabatan matrilineal dan menjadikan budaya sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka, baik di kampung halaman maupun di tanah rantau.
“Alhamdulillah, masyarakat Minang dimanapun berada tetap mempertahankan akar budaya mereka secara utuh. Ini adalah wujud lestarinya budaya tersebut,” ujar Wakil Ketua DPRD Kota Bukittinggi, H. Zulhamdi Nova Candra IB, dalam perbincangannya bersama wartawan.
Candra, yang juga merupakan pemangku adat dengan gelar Pangulu Alam di kaum Pasukan Jambak Bantolaweh, Ngarai & Ateh Ngarai, Kota Bukittinggi, memang dikenal memiliki perhatian khusus terhadap pelestarian budaya Minangkabau.
Dalam kapasitasnya sebagai politisi sekaligus penghulu, ia menekankan pentingnya menjaga budaya dan tradisi di tengah kemajuan zaman yang serba cepat dan dinamis.
Salah satu konsep penting yang terus ia dorong untuk dilestarikan adalah “Kato Nan Ampek” tata krama dan etika sosial dalam kehidupan masyarakat Minangkabau yang menjadi fondasi hubungan antar individu dalam berbagai tingkatan sosial.
“Kato Nan Ampek adalah sebuah kunci agar budaya kekerabatan dan penghormatan tetap hidup di tengah masyarakat. Dengan mempertahankannya, adat dan adab bisa terus terpelihara,” jelasnya.
Kato Nan Ampek terdiri dari empat tingkatan, yaitu:
– Kato Mandaki – Etika dalam berkomunikasi dengan orang tua, ninik mamak, dan tokoh adat.
– Kato Malereang – Tata krama dalam hubungan dengan ipar, besan, dan sumando.
– Kato Mandata – Adab bergaul dengan teman sebaya.
– Kato Manurun – Sikap dan bahasa yang digunakan terhadap orang yang lebih muda.
Candra juga menekankan pentingnya memperlakukan anak keturunan, kemenakan, dan sesama masyarakat dengan bijak dan penuh tanggung jawab. Hal ini ia tegaskan melalui pepatah Minang yang sarat makna:
“Urek Paku Kacang Balimbiang, Bajalan Lenggang Lenggokkan. Anak Dipangku Kamanakan Dibimbiang, Urang Kampuang Dipatenggangkan.”
Pepatah ini mencerminkan tanggung jawab sosial masyarakat Minang yang luas, tidak terbatas hanya pada keluarga inti, tetapi juga mencakup komunitas sekitar.
“Kalau nilai-nilai ini terus disemai, insyaallah budaya, adab, dan adat Minangkabau akan tetap tumbuh subur dalam kehidupan masyarakat kita, baik di Ranahminang maupun di perantauan,” tuturnya.
Komitmen seperti ini menjadi cermin kuatnya identitas masyarakat Minangkabau, yang tak hanya berpegang pada akar budaya, tetapi juga mampu merawat dan menumbuhkannya dari generasi ke generasi.
Penulis: Alex.Jr
(Bukittinggi, Minggu 13 april 2025)