Artikel: H Anwar Abbas *]
IMBCNews | Rencana merger BMI dengan BTN Syariah mengemuka di masyarakat. Pertanyaannya, merger BMI dan BTN Syariah itu terkategorikan sangat urgent atau tidak?
Terus terang, banyak pihak agak mengalami kesulitan di dalam memahaminya, karena hasil pemeriksaan Kantor Akuntan Publik (KAP) menyimpulkan: BMI selama tahun 2023 adalah untung. Apalagi kalau dilihat dari asetnya yang tumbuh sekitar 3,7 persen dari Rp62 trilliun menjadi Rp67 trilliun.
Sedangkan pembiayaan yang dikucurkan BMI juga naik dari Rp18 triliun menjadi Rp2 triliun. Kemudian, CAR nya 28,35 persen jadi jauh di atas CAR minimal yang ditentukan. NPFnya atau pembiayaan macetnya turun dari 2,8 persen menjasi 2,06 persen. Dan yang menarik juga, pada saat banyak dunia perbankan DPK-nya turun BMI malah naik dari Rp46 triliun menjadi Rp47,5 triliun.
Memang, ROA dan ROE-nya rendah. Hal itu adalah karena beban masa lalu. Akan terapi, ke depannya, jika BMI bisa dikelola dengan baik dan profesional serta ada keberpihakan yang jelas kepada UMKM, maka BMI tentu akan menjadi bank kebanggan umat dan bangsa.
Untuk itu, bagi mencapai tujuan dimaksud kita harus berusaha mengembalikan BMI kepada khittahnya semula, sebagai bank syariah yang punya paradigma dari umat, milik umat, bersama umat dan untuk umat.
Hal demikian perlu menjadi perhatian, karena yang namanya umat itu boleh dikatakan lebih banyak berada pada kelompok usaha UMKM dan sedikit sekali yang berada di usaha besar. Oleh karenanya, langkah strategis harus dilakukan oleh BMI ke depan adalah mengubah orientasi pembiayaannya dari berorientasi kepada korporasi yang returnnya rendah kepada UMKM yang returnnya jauh lebih tinggi.
Kalau selama ini kita lihat bahwa volume pembiayaan dari BMI untuk retail hanya ratusan miliar saja, tapi dalam tahun 2023 sudah mencapai Rp3,3 triliun. Hal ini jelas sangat-sangat sesuai dengan keinginan dan harapan dari presiden Jokowi, karena beliau ingin dunia perbankan betul-betul memperlihatkan keberpihakan yang jelas kepada UMKM yang jumlahnya 99,99 persen dari total pelaku usaha di negeri ini.
Sementara, usaha besar atau korporasi jumlahnya hanya 0,01 persen dari total pelaku usaha yang ada. Oleh karena itu, yang mendesak dilakukan terkait dengan BMI bukanlah memerger BMI dengan BTN Syariah. Akan tapi adalah, bagaimana mengubah orientasi dari pihak manajemen.
Jika selama ini mereka lebih fokus kepada pembiayaan korporasi atau usaha besar, ke depan mereka harus lebih fokus untuk memajukan UMKM sehingga diharapkan jumlah kelas menengah kita akan semakin membesar dan membesar, karena ada mobilitas vertikal yang terjadi. Peluang memajukannya, di mana mereka yang ada di lapis bawah, karena mendapat suntikan dana dari BMI mereka bisa naik kelas ke kelas menengah.
Inilah masalah yang selama ini diinginkan oleh Presiden Jokowi. Akan tetapi hal demikian pulalah yang kurang mendapat dukungan serius dari para pembantunya. Sehingga, data dan fakta yang ada yang menunjukkan seperti disampaikan sendiri oleh Presiden Jokowi dalam pertemuan tahunan industri jasa keuangan 2024 di St Regis Jakarta Selatan, 20 Februari 2024 yang lalu.
Dalam kesempatan itu muncul, jumlah kredit dan pembiayaan yang dikucurkan kepada UMKM baru sekitar 19 persen. Untuk itu, ke depan kita harapkan agar BMI tampak lebih jelas komitmennya untuk mendukung dan memajukan UMKM.
Kita sekarang sedang bersiap-siap menghadapi pergantian kepemimpinan nasional. Maka, kita berharap agar proses suksesi ini berjalan dengan baik, aman, tentram, damai dan lancar tanpa ada keributan-keributan termasuk dalam masalah yang terkait dengan BMI. Maka, kita meminta pihak pemerintah agar menunda rencana merger BMI dengan BTN Syariah, sampai dengan pemerintahan baru terbentuk dan sudah berjalan stabil.
Semoga manfaat.
]* Anwar Abbas, Ketua PP Muhammadiyah