.Oleh Theo Yusuf, Ms
IMBCNEWS | Sejarawan dari Makassar Sulsel, Prof. Dr. Zainuddin Taha mengingatkan kepada Jakarta, agar tidak menafikan peran tokoh-tokoh dari Sulawesi Selatan, utamanya Andi pangeran Petta Rani yang tidak masuk dalam usulan pahlawan nasional periode ini.
Ia, Andi Pangerang Petta Rani (juga dikenal sebagai Andiʼ Pangerang Daeng Rani bagi masyarakat Makassar) yang bernama lengkap Andi Pangerang Pettarani Karaeng Bontonompo Arung Macege Matinroe Ri Panaikang (14 Mei 1903 – 12 Agustus 1975), adalah satu-satunya manusia Sulsel, yang demi negara, demi bangsa, mau melepaskan hak kekuasaan milik ayahnya, milik om dan saudaranya diserahkan kepada pusat demi menjalankan amanah Undang-undang Dasar dan kesatuan RI, yakni degan menghapus “Swapraja” di Sulsel, dimana ribuan hektar tanah di wilayah Sulsel saat itu milik ayahnya sebagai raja.
Oleh karena itu, kepada saudaraku yang saat ini ada dipusat pemerintahan, atau yang sedang berkuasa, tengoklah sejarah perjuangan Andi Pangeran Petta Rani, agar dia juga berhak menjadi orang yang punya gelar sebagai pahlwan nasional, kata Prof. Dr. Zainuddin Taha, saat dimintai tanggapan pemberian gelar pahlawan terhadap 5 tokoh pejuang.
Sesuai yang diberitakan media nasional, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memastikan akan memberikan gelar pahlawan nasional kepada lima tokoh yang dipilih berdasarkan usulan masyarakat yang sebelumnya juga telah melalui proses seleksi.
Kelima tokoh itu antara lain, almarhum DR. dr. H. R. Soeharto dari Jawa Tengah yang dinilai telah berjuang bersama Presiden Soekarno dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Bahkan setelah kemerdekaan, almarhum DR. dr. H. R. Soeharto ikut serta dalam pembangunan sejumlah infrastruktur di Tanah Air. Kedua, almarhum KGPAA Paku Alam VIII yang merupakan Raja Paku Alam dari tahun 1937-1989.
Beberapa jasa yang telah diberikan almarhum KGPAA Paku Alam VIII antara lain bersama Sultan Hamengkubowono IX dari Keraton Yogyakarta mengintegrasikan diri pada awal kemerdekaan Republik Indonesia sehingga NKRI menjadi utuh hingga saat ini, dan Ketiga, almarhum dr. Raden Rubini Natawisastra, dari Kalimantan Barat. Almarhum dr. Raden Rubini Natawisastra telah menjalankan misi kemanusiaan sebagai dokter keliling pada saat kemerdekaan. Bahkan, almarhum bersama istrinya dijatuhi hukuman mati oleh Jepang karena perjuangannya yang gigih untuk kemerdekaan Republik Indonesia.
Menurut Prof. Dr. Zainuddin, Swapraja adalah wilayah atau daerah yang memiliki hak pemerintahan sendiri. Istilah ini dipakai sebagai padanan bagi istilah pada masa kolonial Belanda, zelfbestuur. Sistem administrasi daerah Indonesia pada masa Hindia Belanda. Saat itu ayah Andi Pangerang Petta Rani, Andi Mappayuki sebagai Raja yang menguai ratusan hektar di kawasan Bone dan sekitarnya.
Dengan menghapus aturan Swapraja di Sulsel, maka tanah-tanah yang semula dikuasai oleh para raja di Makasar dikembalikan kepada negara. Itulah salah satu perjuangan Andi Pangerang Petta Rani.
Prof. Dr. Zainuddin juga menyampaikan peran Andi Pangeran Petta Rani dalam memperjuangkan Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. “Saya menulis buku dengan judul Sulawesi tahun 1940 – 1960, Dari Ratulangi ke Andi Petta Rani.” (2021).
Terlalu banyak jasa perjuangan yang dilakukan Andi Petta Rani, diantaranaya adalah:
1 Sebagai Pegawai Pamong Praja di Palopo, Bone dan Takalar, Menjadi Kepala Distrik di Gowa.
- Tahun 1931 saat ayahnya diangkat sebagai Raja Bone, ia sebagai sekretaris Swapraja atau Arung Macege.
- Saat Jepang menyerang ke Makassar dan banyak menyembelih orang Makassar, ia sebagai telek sandi, Stawacht Watamone, dengan pangkat Sersan Mayor.
- Tahun 1945 bersama Dr. Samratulangi bersama Sultan Daeng Raja, ia juga salah satu anggota badan persiapan Kemerdekaan RI mewakili Sulawesi.
- Tanggal 16 Agustus di rumah Laksamana Maeda, Andi ikut menentukan hari pembacaan teks Proklamasi.
Itulah diantara jasa perjuanganya yang layak untuk diusulkan, dikawal sebagai pahlawan nasional selain jasa lain seperti pembangunan lapangan di Karebosi dan tempat arena olah raga lainnya saat itu ia menjadi Gubernur, dan menyelenggarakan Pekan Olah Raga Nasional tahun 1957 yang mendapat pujian di depan publik oleh Presiden Soekarno saat membuka acara tersebut.
Prof. Zainuddin masing ingat rumah yang dibangun di Jalan Kumala Nomor 174. Sejak didirikan pada tahun 40-an, bentuk asli rumah tersebut belum berubah sedikit pun. Di era modern saat ini sudah sangat sulit menjumpai rumah yang masih menjadikan ubin sebagai lantainya.
Gaya hidup sederhana dan bersahaja seorang anak Raja, seorang pahlawan bangsa itulah yang perlu diteladani dan layak untuk terus diperjuangkan sebagai pahlwan nasional atas nama pengakuan negara.
IMBCnes**