Jakarta-IMBCNews- Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menggelar seminar dan launching buku bertajuk “Evaluasi Persidangan PHPU 2024: Upaya Mewujudkan Keadilan Pemilu dan Demokrasi Substansial” di Jakarta, Minggu 8 Desember 2024.
Menurut Fadli Ramadhanil, Program Manager Perludem, buku ini memuat berbagai temuan Perludem selama proses persidangan PHPU (Perselisihan Hasil Pemilihan Umum) 2024 baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif, termasuk catatan dan evaluasi kedepannya.
Pada tahun 2024 Mahkamah Konstitusi (MK) setidaknya menerima 299 permohonan perselisihan hasil pemilu, dengan rincian 2 permohonan PHPU Presiden dan Wakil Presiden, 285 permohonan PHPU DPR dan DPRD, dan 12 permohonan PHPU DPD.
Dalam proses persidangan yang berlangsung terdapat dinamika yang terjadi. Baik terkait mekanisme persidangan, proses pembuktian yang dihadirkan para pihak, hingga progresivitas putusan MK. Melihat pentingnya untuk mengawasi proses persidangan tersebut, Perludem mencoba melakukan pemantauan persidangan PHPU untuk memberikan evaluasi independen terhadap berjalannya PHPU 2024.
“Kami sadar perselisihan pemilu di MK adalah kerangka penting dalam pemilu. Proses PHPU adalah salah satu dimensi penting dalam penegakan hukum pemilu,” kata Fadil selaku pemapar buku.
Acara yang berlangsung di hotel JS Luwansa menghadirkan penanggap:
Fajar Laksono (Mahkamah Konstitusi), Heru Widodo (Praktisi Hukum)
Bivitri Susanti (Akademisi Hukum Tata Negara) dan Khoirunnisa Agustyati (Direktur Eksekutif Perludem), dengan moderator Haykal (Peneliti Perludem).
MK Jadi “Keranjang Sampah”
Akademisi hukum tata negara, Bivitri Susanti mengungkapkan bahwa penyelenggara dan pengawas pemilu sering mengabaikan berbagai aturan serta aduan yang dilayangkan, yang akhirnya harus ditangani oleh MK.
Bivitri menilai bahwa banyak pelanggaran terjadi selama proses pemilu. “Perludem dan juga banyak pegiat pemilu lainnya sudah menyoroti bahwa kelihatan sekali, baik pihak KPU maupun Bawaslu, intinya penyelenggara pemilu ternyata juga tidak bersih dari intervensi kekuasaan,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa penyelenggaraan Pemilu 2024 merupakan yang paling brutal, karena mempertemukan orang-orang yang berkuasa dengan mereka yang tidak memiliki kekuasaan. “Pemilu paling brutal karena ujian besarnya harus bermuara di MK. Brutalnya juga semua diawali di MK,” ujar Bivitri.
Dalam prosesnya, banyak aduan yang dilayangkan ke Bawaslu selaku pengawas pemilu, namun sayangnya, banyak di antaranya diabaikan. Beberapa aduan bahkan harus dibawa hingga ke Mahkamah Agung (MA), seperti persoalan keterwakilan perempuan yang dinyatakan keliru oleh MA.
“MA sudah bilang salah, diabaikan oleh KPU. Ke Bawaslu. Bawaslu bilang salah, diabaikan lagi,” tuturnya.
Bivitri juga menekankan bahwa masukan dan kritik telah disampaikan dari berbagai pihak, termasuk pasangan calon dan pegiat pemilu. Akan tetapi, lembaga penyelenggara dan pengawas pemilu terus mengabaikan peringatan tersebut, yang pada akhirnya berujung pada gugatan di MK.
“Akhirnya Mahkamah Konstitusi yang harus menerima semuanya sampai Prof Saldi (hakim MK) juga sempat mengatakan, MK bukan keranjang sampah, misalnya begitu ya,” imbuhnya. (KS)