Oleh Jafar M Sidik, Wartawan Antara.
IMBCNEWS | Jakarta – Menurut laporan media Myanmar, salah satunya laman The Irrawaddy, pada Minggu 5 Februari 2023, empat menteri junta militer Myanmar mengunjungi Maungdaw di perbatasan Myanmar-Bangladesh untuk menyiapkan kamp sementara bagi pemulangan warga Rohingya yang tengah mengungsi di Bangladesh.
Keempat menteri itu adalah Menteri Kerjasama Internasional U Ko Ko Hlaing, Menteri Urusan Perbatasan Letjen Tun Tun Naung, Menteri Sosial Thet Thet Khaing, dan Menteri Imigrasi dan Kependudukan U Myint Kyaing.
Maungdaw adalah kota kecil di negara bagian Rakhine yang pada 2017 bergolak setelah junta melancarkan operasi militer yang oleh Badan Hak Asasi Manusia PBB disebut sebagai pembersihan etnis Rohingya dan memicu hampir sejuta warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh.
Menyusul kunjungan ke Maungdaw itu, para pemimpin komunitas Muslim dan Hindu dipanggil ke Sittwe, ibu kota Rakhine, guna bertemu dengan keempat menteri junta Myanmar itu.
Pengungsi Rohingya dan para pegiat hak-hak Rohingnya skeptis atas kunjungan yang disebut mereka sudah sering dilakukan, tapi tak menghasilkan apa-apa.
Namun demikian, kunjungan itu bisa menjadi petunjuk bahwa junta Myanmar mungkin sedang merespons desakan dunia yang bukan hanya masalah Rohingya.
Hal itu juga bisa menjadi indikasi bahwa junta sedang membuka diri bagi pelibatan lebih luas untuk solusi masalah domestik Myanmar, termasuk mengakhiri perang saudara yang sudah memasuki tahun kedua.
Kunjungan empat menteri itu sendiri terjadi tiga bulan setelah kursi keketuaan ASEAN diserahkan dari Kamboja kepada Indonesia pada 13 November 2022.
Kedua peristiwa ini bisa saja bersinggungan dan melukiskan pergeseran sikap dalam tubuh junta Myanmar setelah Indonesia menjadi ketua ASEAN yang dipastikan berbeda dengan Brunei dan Kamboja dalam mendekati perannya sebagai ketua ASEAN.
Terakhir kali Indonesia mengetuai ASEAN adalah 2011 atau enam tahun sebelum tragedi besar Rohingya dan sepuluh tahun sebelum junta mengudeta pemerintahan sipil Aung San Suu Kyi.
Andai saat itu Indonesia mengetuai ASEAN, mungkin soal-soal besar di Myanmar tidak berlarut-larut.
Pada saat Indonesia mengetuai ASEAN pada 2011, Suu Kyi yang dibebaskan dari tahanan politik pada November 2010, tengah bersiap mengikuti pemilu 2012 yang merupakan pemilu keduanya setelah 1990. Hasil kedua pemilu itu dianggap sepi oleh junta.
Kini, dua tahun setelah kudeta 1 Februari 2021 yang akhirnya mendorong sejumlah elemen sosial angkat senjata sehingga pecah perang saudara di Myanmar, Indonesia kembali mengetuai ASEAN.
Banyak kalangan yang mengharapkan periode Indonesia mengetuai ASEAN tahun ini mendorong perubahan-perubahan positif di Myanmar.
Episentrum pertumbuhan yang demokratis
Saat menerima tongkat kepemimpinan ASEAN dari PM Kamboja Samdech Techo Hun tahun lalu, Presiden Joko Widodo berikrar menjadikan ASEAN sebagai episentrum pertumbuhan yang damai, jangkar stabilitas global, dan kawasan bermartabat yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan demokrasi.
Kalimat “menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi” menjadi kontekstual sekali dengan krisis Myanmar saat ini.
Indonesia sendiri terlihat menempatkan Myanmar sebagai prioritas penting, sampai-sampai mengawali peran sebagai ketua ASEAN dengan membahas krisis Myanmar.
Dalam kaitan ini, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengajukan tiga pendekatan.
Ketiganya adalah (1) melibatkan semua pemangku kepentingan untuk memfasilitasi dialog nasional yang inklusif di Myanmar, (2) membangun situasi kondusif untuk terciptanya dialog inklusif antara para pemangku kepentingan di Myanmar dengan mengurangi kekerasan dan melanjutkan bantuan kemanusiaan untuk rakyat Myanmar, dan (3) bekerja sama dengan ASEAN, semua negara tetangga Myanmar, PBB dan negara-negara lain yang berkepentingan dengan Myanmar.
Sebuah cara mendekati masalah yang realistis karena sekalipun apa yang terjadi di Myanmar saat ini adalah urusan internal negara itu, namun solusi untuk masalah itu mustahil tak melibatkan pihak-pihak lain.
Apalagi, secara geopolitik, Myanmar berbatasan dengan banyak negara, khususnya India dan China yang memproyeksikan kepentingan nasionalnya jauh melewati batas teritorial mereka.
Myanmar juga berbatasan dengan ASEAN di Thailand, selain menjadi anggota organisasi kawasan ini, sehingga tak mungkin melepaskan diri dari konteks ASEAN.
Amerika Serikat, Uni Eropa, Rusia, dan bahkan Jepang, juga mesti dilibatkan. Bukan saja karena semuanya memiliki kepentingan ekonomi, tapi karena setiap pelibatan salah satu dari mereka di kawasan ini selalu bersinggungan dengan yang lainnya, entah karena gesekan kepentingan ekonomi, geopolitik, maupun militer.
Namun, tak bisa dipungkiri ada harapan bahwa Indonesia bisa mengatasi masalah Myanmar secara lebih menyeluruh ketimbang yang dilakukan Brunei dan Kamboja yang dua tahun terakhir ini mengetuai ASEAN.
Sepertinya ada ewuh pakewuh di ASEAN sampai negara sebesar Indonesia pun enggan lebih jauh melangkah melewati hak negara yang tengah mengetuai ASEAN.
Kini, Indonesia tak perlu lagi jengah dan ragu menggolkan prakarsa-prakarsanya di Myanmar karena sudah berstatus ketua ASEAN.
Kini saat yang tepat untuk melancarkan ofensif diplomatik besar di Myanmar guna menciptakan atmosfer inklusif yang menjadi prolog bagi situasi kondusif untuk dialog menyeluruh di Myanmar seperti disebut Retno.
Demi membuat Myanmar stabil
Mengapa saat yang tepat? Karena kekuatan-kekuatan besar di balik Myanmar, seperti AS, Uni Eropa, Rusia dan China tengah sibuk oleh masalah Ukraina dan Taiwan.
Kondisi itu sedikit banyak menciptakan tekanan terhadap junta Myanmar, sehingga mau membukakan pintu lebih lebar lagi kepada ASEAN dalam membantu menuntaskan masalah Myanmar.
Meskipun begitu, semua upaya dan prakarsa terkait Myanmar mesti dilakukan dalam kerangka konsultasi dengan semua pihak yang berkepentingan dengan negara itu, termasuk negara-negara besar.
Tetapi semua itu mesti dilakukan dengan menekankan bahwa aspirasi ASEAN di Myanmar tidak untuk menangkal pengaruh dan kepentingan negara-negara besar di Myanmar yang jelas menjadi domain rakyat Myanmar.
Dibandingkan dengan Brunei dan Kamboja yang tak memiliki pengalaman sekaya Indonesia dalam menciptakan integrasi nasional, Indonesia memiliki nilai tambah yang bisa membuat junta Myanmar lebih mendengar.
Nilai tambah itu adalah kemajemukan yang juga dimiliki Myanmar. Bedanya, sejak merdeka pada 1948, Myanmar kesulitan mengelola kemajemukan ini, apalagi secara geopolitik dan geoekonomi, mereka berada dalam irisan pengaruh China dan India.
China, bahkan berusaha membangun koridor dagang dari bagian selatan negeri itu di Provinsi Yunnan, sampai pesisir barat Myanmar di Teluk Benggala, sehingga memangkas jarak jalur perdagangannya ketimbang harus melalui Selat Malaka dan Laut China Selatan.
Cara Indonesia memperlakukan kemajemukan sehingga menciptakan negara multietnis yang bersatu padu adalah pengalaman yang bisa dibagi kepada Myanmar.
Lain hal, Indonesia mesti meyakinkan junta bahwa membuat Myanmar yang stabil adalah juga demi kebutuhan dan kebaikan kawasan.
Sebaliknya, kepada pihak-pihak, seperti Amerika Serikat, China, dan Rusia, Indonesia harus menekankan bahwa membuat Myanmar yang stabil adalah bukan untuk menggugat pengaruh dan kepentingan mereka di Myanmar.
Indonesia juga perlu menegaskan kepada semua pihak bahwa perbaikan kondisi di Myanmar adalah demi membuat Myanmar stabil, bukan memaksakan perubahan rezim yang sudah jelas menjadi domain rakyat Myanmar.
Tetapi Indonesia harus menegaskan bahwa adalah kepentingan ASEAN untuk mendesak junta melibatkan semua pihak di Myanmar.
Bukan untuk mencampuri urusan dalam negeri mereka, melainkan atas dasar pemahaman bahwa langkah itu menjadi pintu besar untuk mencegah dampak kekerasan di Myanmar, tidak tumpah ke ASEAN, yang bisa berupa masalah pengungsi, sampai kriminalitas lintas batas.
Itu semua bisa merusak pertumbuhan kawasan sehingga adalah hak dan kepentingan ASEAN untuk mencegah semua itu terjadi.
Selain itu, upaya Indonesia membantu mengakhiri kekerasan di Myanmar, adalah dalam rangka membentuk “masyarakat ASEAN” yang hanya bisa terwujud jika semua anggota ASEAN memuliakan inklusivitas, termasuk junta Myanmar yang cenderung mengesampingkan inklusivitas sehingga kekerasan terus mengoyak negeri itu.
imbcnews/amt/**