IMBCNews – Jakarta – WACANA isolasionisme termasuk penarikan diri Amerika Serikat dari PBB dan Aliansi Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang dianggap membebani kepentingan nasional negara itu dan pengutamaan kepentingan warga negaranya (America First) perlu diantisipasi dampaknya bagi perubahan geopolitik dan geostrategi global.
Seruan agar AS menarik diri dari AS dan NATO dilontarkan miliarder kondang Elon Musk dengan pemikiran, AS akan lebih fokus pada kepentingan domestiknya ketimbang cawe-cawe dalam sejumlah organisasi Internasional.
Pemikiran tersebut sejalan dengan Presiden Donald Trump yang sejak awal kampanye Pilpres lalu mengangkat motto “America First” dengan memprioritaskan kepentingan dan kesejahteraan warga negaranya.
Terkait keanggotaan NATO misalnya, Trump menyerukan pada 31 negara lainnya terutama di Eropa yang berada di garis depan menghadapi ancaman Rusia, untuk meningkatkan anggaran pertahanan mereka, tidak lagi mengandalkan AS.
Namun wacana yang dilontarkan Elon Musk itu justru muncul pada saat ketegangan internasional semakin meningkat, seperti dalam konflik Rusia-Ukraina, yang memunculkan ketidakpuasan terhadap peran NATO dan PBB dalam menyelesaikan masalah global.
Jadi, jika AS benar-benar menarik diri dari kedua organisasi tersebut, dampaknya bakal meluas jauh lebih besar daripada sekadar mengubah kebijakan luar negeri AS.
Berdampak pada RI
Dampaknya, menurut Dewan Pakar Geostrategi dn Geopolitik BPIP Prof. DR. Ermaya (Kompas.com – 1/4), juga akan memengaruhi stabilitas geopolitik kawasan, khususnya di Asia Tenggara, dan posisi RI dalam tatanan global.
Bagi Perhimpunan Bangsa-bangsa di Asia Tenggara (ASEAN), yang memiliki kepentingan strategis di kawasan Asia Pasifik, langkah AS untuk meninggalkan NATO dan PBB akan menciptakan ketidakpastian besar.
ASEAN telah lama bergantung pada keterlibatan AS dalam menjaga keseimbangan kekuatan di kawasan yang rawan konflik, khususnya dalam menghadapi ekspansi militer China di Laut China Selatan.
Dalam forum-forum internasional seperti PBB dan kerja sama bilateral melalui ASEAN Regional Forum (ARF), negara-negara anggota ASEAN akan terpaksa mencari alternatif pengamanan, yang mungkin berujung pada fragmentasi atau ketergantungan yang lebih besar pada kekuatan besar lain, seperti China atau India.
Sementara itu bagi RI dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan aktor penting dalam ASEAN, keputusan AS untuk mundur dari organisasi internasional akan menghadirkan tantangan besar.
Indonesia yang selama ini memegang prinsip “bebas aktif” dalam kebijakan luar negerinya akan menghadapi dilema diplomatik baru.
Ketidakhadiran AS dalam PBB dan NATO akan mengurangi ruang bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk memengaruhi keputusan-keputusan global.
Ini berpotensi memperburuk ketidaksetaraan dalam hubungan internasional, di mana negara-negara besar dapat lebih bebas bertindak tanpa mempertimbangkan konsensus global.
Indonesia yang aktif dalam PBB dan banyak mengandalkan forum internasional untuk menyelesaikan isu-isu kemanusiaan, perdamaian, dan keamanan, akan merasakan dampaknya langsung jika AS menarik diri.
Kehilangan mitra penting
Sebagai negara anggota tidak tetap DK PBB, Indonesia akan kehilangan salah satu mitra penting dalam mendorong kebijakan internasional yang mendukung perdamaian dan stabilitas dunia jika AS menarik diri.
Seruan Elon Musk memicu perdebatan panjang di kalangan politik AS –mengenai isolasionisme versus globalisme.
Isolasionisme, yang pernah menjadi bagian penting dari kebijakan luar negeri AS pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, kini kembali mencuat sebagai solusi bagi sebagian kalangan yang merasa bahwa keterlibatan AS dalam organisasi internasional semakin tidak relevan.
Sejak Perang Dunia II, AS telah memainkan peran sentral dalam membentuk tatanan global melalui multilateralisme.
Namun di dunia yang semakin terfragmentasi dan multipolar, banyak pihak melihat bahwa pendekatan tersebut perlu diperbaharui.
Di sisi lain, pendukung globalisme berpendapat bahwa AS, sebagai salah satu kekuatan besar dunia, tidak dapat mundur dari peranannya dalam organisasi internasional.
NATO dan PBB, misalnya, merupakan dua entitas yang telah lama berperan dalam menjaga stabilitas global. Tanpa keterlibatan AS, aliansi seperti NATO bisa kehilangan efektivitasnya dalam menghadapi ancaman dari negara-negara besar lainnya, seperti Rusia dan China.
Maka keberlanjutan kerja sama ini diyakini penting untuk mencegah ketegangan global yang dapat berujung pada konflik berskala besar.
Hal ini menjadi penting mengingat sejarah dunia yang sering kali dipenuhi dengan perang dunia besar akibat ketidakmampuan negara-negara besar untuk bekerja sama.
Ekonomi RI tertekan
Pada bagian lain, Prof. Ermaya mengingatkan, ekonomi RI, berisiko tertekan dampak kebijakan isolasionis terhadap geopolitik global bisa sangat besar, terutama dalam konteks ketegangan yang ada saat ini.
Di Eropa Timur, misalnya, ketegangan dengan Rusia terkait invasi Ukraina mengharuskan NATO untuk berperan dalam menjaga keamanan kolektif.
Jika AS mundur dari NATO, maka bisa menciptakan ketidakstabilan yang meluas di kawasan tersebut, bahkan merembet ke kawasan lainnya, termasuk Timur Tengah, yang bergantung pada komitmen AS untuk memastikan keamanan.
Dalam konteks kawasan Asia Tenggara, yang diwakili oleh ASEAN, dampak isolasionisme AS juga sangat relevan.
ASEAN telah lama bergantung pada keterlibatan AS dalam menjaga keseimbangan kekuatan di kawasan yang rentan terhadap ekspansi militer China.
Jika AS mundur dari peranannya dalam PBB dan NATO, negara-negara ASEAN mungkin harus mencari alternatif dalam menghadapi tantangan dari China yang semakin agresif, baik di Laut China Selatan maupun dalam konteks ekonomi global.
“Indonesia, sebagai negara dengan ekonomi terbesar di ASEAN dan anggota aktif dalam PBB, akan menghadapi tantangan besar jika AS benar-benar menarik diri dari organisasi internasional,’” ujar Prof. Emaya.
Dengan demikian, kebangkitan wacana isolasionisme di AS yang didorong oleh tokoh seperti Elon Musk berpotensi mengubah peta geopolitik dunia, termasuk memengaruhi keseimbangan kekuatan di kawasan ASEAN dan posisi Indonesia.
Untuk itu, Indonesia sebagai salah satu kekuatan kawasan harus terus memperkokoh fudamental ekonomi dan juga kekuatan milliternya agar tetap mampu menjalankan politik bebas aktif. (imbcnews/Theo/sumber diolah: kompas.com/ns)