Eksekusi pertama di era kepemerintahan Presiden Lai Ching-te untuk kasus vonis hukuman mati dilakukan pada 16 Januari 2025 pukul 10 malam. Huang Lin-kai, pemuda berusia 32 tahun, adalah pelaku pembunuhan keji terhadap pacar dan ibu sang pacar pada tahun 2013. Vonis hukuman mati dijatuhkan pada Juli 2017. Surat perintah pelaksanaan hukuman mati ditanda tangani oleh Kementerian Hukum pada hari yang sama.
Ini adalah topik tren di Taiwan di pertengahan Januari 2025, dan hukuman mati sendiri kerap menjadi bahan perbincangan oleh masyarakat di semua negara di dunia. Kini tercatat masih ada 36 narapidana untuk kasus vonis hukuman mati (Sebelumnya ada 37 orang, termasuk Huang Lin-kai).
Hukuman mati kerap menuang perbedaan pendapat dalam berbagai aspek, mulai dari sisi nilai kemanusiaan, keberadaban masyarakat, demokrasi dan kebebasan, hingga turut memberikan dampak pengaruh terhadap kondisi perekonomian setempat, misalnya lokasi rutan atau rumah duka.
Kasus Huang Lin-kai adalah satu-satunya kasus yang telah memenuhi semua prosedur hukum dan kejiwaan. Kasus ini telah naik banding sebanyak 3 kali, namun tetap berujung kepada hukuman mati. Hingga pada tahapan terakhir, Huang Lin-kai yang berharap akan ada bagian penyesalan hati setiap harinya, jika ia diberikan kebebasan, namun kondisi Huang dinilai tidak pernah menyesal atas tindakan yang dilakukan, selama hari-hari di dalam rutan Taipei, Pihak Mahkamah Agung menjatuhkan vonis hukuman mati kepada Huang Lin-kai tanpa dapat mengajukan banding lagi.
Meskipun sempat menjadi bahan perbincangan sosial media, kasus kejahatan yang berawal dari hubungan pacaran tatkala satu sekolah di SMA yang sama, terbentur dengan masalah keuangan, yang semakin membebankan kehidupan setiap manusia. Penagihan uang yang dianggap bagai hutang, ditambah dengan kata-kata yang tidak sopan, semua suara hiruk pikuk yang terdengar oleh sang pelaku, pada akhirnya semakin menggelapkan matanya.
Kejahatan pembunuhan terhadap 2 perempuan di dalam 1 keluarga (Ibu dan anak perempuan), tentu tidak dapat diterima begitu saja oleh keluarga korban, sang Ayah harus menghadapi kehidupan di kedepannya tanpa dua sosok perempuan yang penting ini. Ayah korban, Mr. Wang menyampaikan bahwa ia pun segera memberikan kabar langsung kepada mendiang istri dan anak perempuan di rumah abu setempat. Hari eksekusi vonis hukuman mati, kebetulan dilaksanakan sehari sebelum hari ulang tahun mendiang putrinya.
Tetap diingatkan, nyawa setiap insan manusia pasti sangat tinggi nilainya. Apakah dengan pelaksanaan eksekusi hukuman mati, kemudian mampu mengurangi tingkat kejahatan antar manusia? Ironisnya, tidak ada bukti jika hukuman mati mampu menurunkan tingkat kejahatan pembunuhan. Maka manusia yang seharusnya dianggap mampu menjadi lebih bijak di kedepannya, kembali memiliki PR untuk diresapi.
Bagaimana halnya, jika setiap insan di bumi berharap hidup dalam lingkungan ramah bersahabat dan berkelanjutan, namun pada praktiknya, dan hati yang bercelah, justru menjadi titik sasar “Peri keji pendosa”, pengorek iman manusia yang sedang rapuh. Harapan yang berlebihan, kerap memang tidak sepadan dengan hasilnya, dan hanya menguras air mata. Setiap bisikan pada hati yang kosong, terdengar bagai tabuh yang bergema, penuh dengan cela dan hina. Semua emosi hati berkabut merah nomor 100, menjadi pilihan pelaku generasi milenial yang yang usianya masih bisa disebut “Masa awal mula gen z”, generasi yang Awal mula gen Z”mulaerbatas masih sama dengan ah energi negatif berupa celaan dan hinaan. Di tengah gemuruhnya kemajuan zaman, gaya hidup yang beradu Kebencian yang terbentuk, berdiri bersebelahan dengan kesenangan, yang bertiraikan “Sajadah putih”, bersujud dalam dengan kesenangan, namun bertiraikan “Sajadah putih”, berbaris mereka berdua harus bertanggung jawab langsung kedua rasa hati langsung dipertanggung jawabkan kepada YME sang pencipta alam dan segala isinya.