IMBCNws – Jakarta – GELOMBANG PHK hingga melonjaknya angka kemiskinan antara lain berpotensi bakal dihadapi Indonesia akibat pengenaan tarif resiprokal atau timbal balik yang diumumkan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump 2 April lalu.
BBC Indonesia mengutip pendapat ekonom melaporkan (8/4), ada peluang yang bisa dimanfaatkan, yakni meniru siasat Vietnam, yang menjadi “pemenang” perang dagang jilid pertama Trump, antara AS dan China pada 2019 lalu.
Apalagi, catatan Kementerian Perdagangan RI menunjukkan AS adalah salah satu negara penyumbang surplus perdagangan nonmigas pada 2024 lalu.
Kontribusi AS mencapai US$16,08 miliar dari total surplus perdagangan migas sebesar US$31,04 miliar. Berikut sejumlah ancaman dan peluang yang akan dihadapi Indonesia akibat dari kebijakan tarif Trump.
“Tarif Impor Trump” yang diumumkan beberapa hari terkait pengenaan tarif dasar dan bea masuk atas barang-barang dari lebih 180 negara, termasuk Indonesia.
Barang Indonesia yang masuk ke AS dikenakan tarif sebesar 32 persen. Tarif itu disebut sebagai timbal balik atas tarif yang diberlakukan Indonesia terhadap barang dari AS, yang diklaim mencapai 64 persen.
Angka tarif Trump yang dikenakan ke Indonesia hanya berbeda dua persen dari China (34 persen), dan lebih kecil dibanding Thailand (36 persen), Sri Lanka (44 persen), Vietnam (46 persen), bahkan Kamboja 49 persen.
Picu resesi
Kenaikan tarif resiprokal yang dikenakan Trump jelas berpotensi
memicu resesi ekonomi Indonesia di kuartal IV pada 2025, kata Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira.
“Potensi ekspor menurun, harga komoditas makin rendah, penerimaan pajak melemah, fiskal pemerintah tidak mampu memberikan stimulus tambahan, begitu pul sisi konsumsi rumah tangga melemah, “ ujarnya seraya menambahkan: “Ini benar-benar perfect storm (badai sempurna-red) .
Bhima menjelaskan resesi ekonomi adalah kondisi ketika dua atau tiga kuartal ekonomi mengalami pelambatan. “Resesi berbeda dari krisis ekonomi di mana pertumbuhan minus. Dalam resesi tidak harus minus, growth melambat saja sudah bisa disebut resesi ekonomi,” jelasnya.
“Korelasi ekonomi Indonesia dengan AS, setiap satu persen penurunan pertumbuhan ekonomi AS maka ekonomi Indonesia turun 0,08 persen,” katanya.
Kemudian, lanjut Bhima, tarif ini secara khusus akan menghantam dan membuat sektor-sektor yang bergantung pada ekspor ke AS berada “diujung tanduk”, seperti otomotif serta elektrik.
“Imbasnya layoff [PHK] dan penurunan kapasitas produksi semua industri otomotif dan elektrik di dalam negeri,” kata Bhima.
Kemudian, sektor padat karya seperti pakaian jadi dan tekstil juga diperkirakan Bhima akan semakin terpuruk. “Sebagian besar brand internasional di Indonesia punya pasar besar di AS. Begitu kena tarif yang lebih tinggi, brand itu akan turunkan jumlah pemesanan ke pabrik Indonesia.
Sementara di dalam negeri, lanjutnya, Indonesia bakal dibanjiri produk Vietnam, Kamboja dan China karena mereka incar pasar alternatif.”
Ekspor produk pakaian dan aksesoris (rajutan) Indonesia ke AS berkontribusi hingga US$2,4 miliar. Sedangkan, produk pakaian dan aksesoris (bukan rajutan) mencapai US$2,1 miliar.
“Ditambah lagi Permendag 8/2024 [tentang impor] belum juga direvisi. Jadi ekspor sulit, sementara barang impor menekan pemain tekstil pakaian jadi di domestik,” katanya.
Separuh produk tekstil
Senada, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menyebut separuh produk tekstil Indonesia diekspor ke Amerika.
Faisal melihat, tarif yang lebih tinggi itu akan memperlemah penetrasi produk Indonesia ke AS. “Saat ini kondisi tekstil sedang berdarah-darah.
Banyak industri yang sudah menutup pabriknya, menghentikan karyawannya, ada relokasi. Dengan tarif AS ini tentu semakin menekan tingkat penjualan dan juga profitabilitas industri ini,” ujar Faisal.
Potensi Indonesia ‘kebanjiran’ barang impor Tarif tinggi, menurut Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, akan membuat “penurunan demand dan kenaikan oversupply pakaian terutama bagi negara produsen pakaian jadi, seperti China, Bangladesh dan Vietnam.”
Jemmy khawatir, Indonesia akan menjadi tujuan dari negara-negara yang kelebihan pasokan tekstil akibat perang tarif itu. Padahal, katanya, pasar dalam negeri menjadi salah satu tumpuan industri tekstil Indonesia saat pasar dunia bergejolak.
“Kelebihan produksi ini jangan sampai membanjiri market Indonesia yang sudah banjir barang impor, yang makin membuat Industri dan IKM [industri kecil-menengah] dalam negeri tertekan,” kata Jemmy.
Jemmy pun berharap pemerintah harus segera membuat aturan non-tariff barrier untuk “membentengi Indonesia dan melindungi IKM dan industri TPT [tekstil dan produk tekstil] dari serbuan barang impor, terutama pakaian jadi.”
Yang rentan, sulit bertahan
Sementara Ketum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani melihat industri berorientasi ekspor yang saat ini kondisinya rentan dan memiliki permintaan yang besar dari pasar AS, kemungkinan akan lebih sulit bertahan.
“Dalam perkiraan sementara kami, sektor garmen, sepatu, karet, perikanan, dan furnitur akan sangat terdampak karena share ekspornya yang besar ke AS dan kondisi industrinya masing-masing yang memiliki korelasi supply chain dengan UMKM atau karena kurangnya fleksibilitas untuk menciptakan diversifikasi ekspor secara segera,” kata CEO Sintesa Group ini.
Kekhawatiran terbesar Apindo, menurut Shinta adalah tekanan layoff [PHK] yang lebih besar di sektor padat karya [garmen terutama] pascakebijakan ini karena industrinya sendiri sudah lama struggling untuk mempertahankan kinerja usaha, kinerja ekspor dan lapangan kerja.
Sementara untuk sektor lain seperti CPO, biofuel, komponen produk elektrik, permesinan atau kendaraan juga disebut akan terdampak negatif, walau kata Shinta, sektor-sektor itu diperkirakan bisa lebih tangguh bertahan karena dapat mendiversifikasi produksinya ke negara tujuan lain atau mengandalkan permintaan dari pasar dalam negeri.
Sedangkan Guru Besar Ekonomi Institut Pertanian Bogor (IPB), Didin S. Damanhuri melihat tarif timbal balik Trump akan membuat pelemahan nilai tukar rupiah.
Dia memprediksi dalam jangka dekat, kurs rupiah akan melewati Rp17.000 terhadap dollar Amerika. “Kalau kurs sudah di atas Rp17.000 dan ini batas psikologis seperti pada 1998. Padahal pemerintah punya utang besar yang berdenominasi dolar. Itu akan menaikan belanja bunga utang,” kata Didin.
Utang Luar Negeri
Berdasarkan data BI, utang luar negeri Indonesia tembus US$427,5 miliar atau Rp6.997 triliun per Januari 2025. Jumlah itu dengan asumsi kurs US$1 senilai Rp16.370. Pelemahan rupiah, kata Didin, akan menciptakan sentiment negatif di pasar modal.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akan terdampak langsung dan bisa anjlok. Tercatat sepanjang Januari hingga 6 Maret 2025, aliran modal asing yang keluar (capital outlow) sebesar Rp20,12 triliun.
Hal itu telah terbukti, ISHG pada 18 Maret anjlok tujuh persen, dan hari pertama setelah libur lebaran, 8 April anjlok lagi sembilan persen sehingga BEJ dihentikan (halt trading) selama 30 menit.
Angka ini belum termasuk potensi dampak dari kebijakan tarif Trump di mana korporasi besar di Indonesia yang memiliki utang dalam denominasi dolar juga terancam goyang, bahkan bisa berpotensi pailit.
“Oleh karena itu antisipasi mereka memilih PHK, daripada mengkonversi utang-utangnya. Jadi PHK yang sudah masif akan semakin masif,” ujarnya. Apindo mencatat jumlah tenaga kerja yang terkena PHK mencapai 40.000 orang pada Januari-Februari 2025, ditambah tahun lalu ada 250.000 orang yang dirumahkan.
BPS mencatat, per Agustus 2024, tercatat ada 7,47 juta orang menganggur. Meningkatnya pengangguran akan berdampak langsung pada melonjaknya angka kemiskinan di Indonesia, kata Didin, yang menciptakan situasi berbahaya pada sisi sosial, politik dan keamanan.
Pada 2024, tercatat 67,69 juta orang (24,23% dari total penduduk) masuk kategori masyarakat rentan miskin. Angka ini belum termasuk kelompok miskin yang berjumlah 25,22 juta orang (9,03 persen).
“Jadi jangan dianggap oleh pemerintah maupun oleh elite business bahwa ini seolah-olah hanya berdampak di pusaran modal pasar uang. Tidak, menurut saya, tapi bisa hingga menyentuh seluruh lapisan masyarakat,” katanya.
Awan hitam berarak di atas angkasa Indonesia, turbulensi ekonomi yang bisa berujung gejolak sosial politik di hadapan mata.
Untuk itu, yang diperlukan aksi nyata, terutama pemerintah, poitisi dan dunia usaha untuk memitigasinya agar risiko bisa ditekan menjadi seminimal mungkin. (imbcnews/Theo/sumber diolah:kompas.com)