IMBCNews – Jakarta – Sepekan setelah Bursa saham dihentikan akibat anjloknya ISHG lebih dari tujuh persen ke level 6.017.39 pada sesi perdagangan, Selasa pagi (18/3), kurs rupiah terhadap dollar AS menyentuh Rp17.000 atau mendekati level depresiasi 1998.
Mengutip data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) pada perdagangan Selasa (25/3) yang dilaporkan Kompas.com., nilai tukar rupiah ditutup di level Rp 16.622 per dollar AS. Rupiah pun mencatatkan level terendah sepanjang 2025, dengan koreksi sebesar 2,79 persen dibandingkan akhir 2024.
Bahkan, nilai tukar rupiah telah mendekati level terendahnya dalam lima tahun terakhir, tepatnya sejak 2 April 2020 yang berada pada level Rp 16.741 per dollar AS.
Depresiasi rupiah kali ini juga mendekati level terendah dalam sejarah yaitu saat krisis moneter 1998. Menurut Kompas.com, kurs rupiah di pasar uang spot antarbank Jakarta saat itu ditutup Rp 16.900 per dollar AS pada 17 Juni 1998, lalu menyentuh Rp 17.000 per dollar AS pada perdagangan 22 Januari 1998.
Direktur Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas BI Fitra Jusdiman mengklaim, pelemahan rupiah saat ini berbeda dengan kondisi pada 1998. Saat itu, terjadi lonjakan signifikan atas nilai tukar rupiah, dari Rp 8.000 per dollar AS ke hampir Rp 17.000 per dollar AS atau sekitar 112 persen.
”Secara fundamental, Indonesia saat ini jauh lebih baik ketmbang saat krismon 1998. Pada pertengahan 2024, rupiah hanya melemah 1,33 persen, jauh lebih rendah dari won Korea yang melemah: 6,3 persen dan rupee India 2,74 persen,” katanya .
Setelah Donald Trump terpilih sebagai Presiden AS pada November 2024, hampir semua nilai tukar mata uang terhadap dollar AS melemah, baik negara maju maupun berkembang.
Menurut Fitra, tekanan terhadap rupiah saat ini disebabkan oleh faktor global yang masih penuh ketidakpastian a.l dipicu oleh dampak penerapan kebijakan tarif oleh Trump, arah kebijakan bank sentral AS Federal Reserve (The Fed) yang cenderung lebih ketat (hawkish), dan gejolak geopolitik.
Hal itu membuat kurs dollar AS menguat terhadap sebagian besar mata uang lain dan imbal hasil obligasi Pemerintah AS.
Kebutuhan valas meningkat
Dari sisi domestik, Fitra menjelaskan, kebutuhan valas dari korporasi yang meningkat untuk pembayaran dividen menjelang Lebaran juga berdampak pada pergerakan nilai tukar rupiah.
Oleh sebab itu, BI berkomitmen untuk terus menempuh berbagai langkah stabilisasi nilai tukar agar kepercayaan pasar tetap terjaga.
BI akan memantau pergerakan rupiah sembari memastikannya, dengan tetap berada di pasar sembari menempuh triple intervention, dilakukan baik di pasar spot, pasar domestic non-deliverable forward (DNDF), maupun dengan membeli surat berharga negara (SBN) di pasar sekunder secara bold dan terukur.
”Langkah ini untuk memastikan stabilitas nilai tukar dan keseimbangan demand-supply valas sehingga dapat menjaga market confidence,” ujarnya.
Fitra mengingatkan, di tengah ketidakpastian, hanya negara yang memiliki arah dan keteguhan yang akan dipercaya pasar. Stabilitas tidak cukup dengan intervensi saja.
Pelemahan rupiah kali ini juga terjadi seminggu setelah terjadi gejolak yang melanda pasar saham domestik pada 18 Maret 2025 lalu di mana Bursa Efek Indonesia terpaksa menghentikan perdagangan (trading halt) sesi pertama, lantaran IHSG terkoreksi hingga tujuh persen.
Kondisi tersebut, a.l disebabkan oleh aksi jual investor asing di pasar saham yang pada medio Maret 2025 tercatat Rp 22,21 triliun. Alhasil, IHSG kala itu ditutup di level 6.011,84 atau terendah sejak 2021.
Tidak cukup
Sementara Pengajar di Departemen Ekonomi Universitas Andalas Syafruddin Karimi berpendapat, gejolak yang menimpa IHSG dan nilai tukar rupiah menunjukkan, reaksi teknis saja tidak cukup untuk menenangkan pasar.
“Artinya, pasar membutuhkan arah kebijakan yang jelas dan komitmen dari pemerintah, “ ujarnya.
Selain itu, dibutuhkan pula strategi komunikasi yang transparan dan konsisten serta perencanaan jangka menengah yang dapat dipegang oleh pasar.
”BI telah menjalankan perannya. Sekarang, giliran pemerintah untuk membangun arah kebijakan yang kredibel dan menyeluruh. Sebab, dalam dunia yang dipenuhi ketidakpastian, hanya negara yang punya arah dan keteguhan yang akan dipercaya pasar. Stabilitas tidak cukup dengan intervensi saja,” katanya.
Anomali
Kelemahan nilai tukar rupiah dalam beberapa bulan terakhir, menurut Syafruddin, cenderung bersifat anomali atau tidak wajar. Alih-alih menguat saat indeks dollar AS terhadap mata uang lain (DXY) cenderung melemah, rupiah justru terdepresiasi.
Sejak November 2024, DXY mencatatkan titik tertingginya dengan menyentuh level 109,96 pada 13 Januari 2025. Kemudian, DXY berbalik turun perlahan hingga menyentuh level terendahnya pada 18 Maret 2025, yaitu 103,24 atau melemah 6,11 persen. Sebaliknya, nilai tukar rupiah justru melemah 2,79 persen.
Menurut Syafruddin, depresiasi rupiah dalam beberapa bulan terakhir itu cenderung cukup mengkhawatirkan. Sebab, tekanan terhadap rupiah tidak hanya datang dari faktor global, tetapi juga dari sentimen domestik yang belum sepenuhnya pulih.
”Faktor internal, seperti keraguan terhadap arah kebijakan fiskal, spekulasi pasar terhadap posisi pejabat kunci ekonomi, dan lemahnya komunikasi kebijakan, berperan cukup besar dalam membentuk ekspektasi pasar,” ujarnya.
Hal ini mencerminkan persoalan domestik yang lebih dalam, seperti lemahnya konsistensi kebijakan, minimnya komunikasi ekonomi yang meyakinkan, dan ketidakseimbangan antara fiskal dan moneter.
Syafruddin memperkirakan, pergerakan nilai tukar rupiah ke depan akan sangat bergantung pada kebijakan yang akan diambil, baik oleh pemerintah maupun otoritas moneter. Tanpa adanya kejelasan arah kebijakan jangka menengah, pasar akan terus bersikap defensif.
“Pelaku pasar membutuhkan arah kebijakan yang jelas dan konsisten, bukan sekadar janji. Ketika narasi fiskal pemerintah tidak sejalan dengan kebijakan moneter, nilai tukar pun melemah seiring dengan lunturnya kepercayaan pasar,” ujarnya.
Kuncinya, menurut dia, tidak hanya pada respons teknis seperti intervensi pasar, tetapi pada pemulihan kepercayaan melalui arah kebijakan yang jelas, transparan, dan bisa diprediksi pasar.
“Pada akhirnya, nilai tukar rupiah adalah cerminan dari bagaimana pasar melihat kekuatan, arah, dan kepemimpinan ekonomi kita,” ujar Syafruddin,”
Tak hanya faktor eksternal
Senada, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Mohamad Fadhil Hasan berpendapat, anomali di pasar keuangan domestik bukan hanya karena faktor eksternal, melainkan juga akibat dari persoalan domestik.
Masalah domestik itu, a.l. disebabkan oleh kebijakan yang diambil pemerintah. Misalnya, pembentukan Danantara, Koperasi Merah Putih, Makan Bergizi Gratis, dan program 3 Juta Rumah.
Ketidakpastian hukum dan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) turut mengikis keyakinan pasar terhadap kemampuan pembiayaan program pemerintah di tengah meningkatnya pembayaran utang.
”BI menyampaikan ada aliran dana ke emerging markets, tetapi rupiah terus mengalami tekanan. Artinya, ada persoalan di dalam negeri yang lebih dominan, bukan faktor eksternal,” kata Fadhil.
Ia memperkirakan nilai tukar rupiah dalam jangka pendek dan menengah masih akan tertekan, akibat faktor eksternal dan domestik, kecuali jika BI menempuh operasi pasar secara signifikan guna menjaga stabilitas.
Bukan karena panik, indikator-indikator tersebut tentu harus dibaca dengan kritis. Waspada dan waspada! (imbcnews/Theo/sumber diolah: kompas.com)