IMBCNEWS Jakarta | Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia, Prof. Dr. Laksanto Utomo mendesak Mahkamah Konstitusi (MK) membahas Uji Materi (Juditial review) terkait perlindungan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat.
APHA memberikan surat kuasa kepada Dr. Victor Santoso Tandiasa, SH MH untuk melakukan Juditial Review terhadap Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara terhadap Pasal 1 Ayat (2), Pasal 1 Ayat (3), Pasal 18B Ayat (2), dan Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Kesan saya MK ini ada rasa ketakutan kalau segera membahas uji materi yang diajukannya,” kata Prof. Laksanto Utomo dalam diskusi terbatas, soal perlunya menyuarakan hukum adat di era Pemerintahan baru, Prabowo Subianto tiga bulan lagi.
Diskusi mendesak MK untuk berani membas JR dari APHA itu juga dihadiri Prof. Dr. Faisal Santiago, Direktur Pasca Universitas Borobudur, Advokat senior Victor S Tandiasa dan Dr. H Boy Nurdin, yang mewakili masyarakat adat Kalimantan.
Menurut Laksanto, dalam Pasal 5 ayat (2) UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Pasal 5 ayat 2 antara lain memuat Urusan pemerintahan meliputi urusan agama, hukum, keuangan, keamanan, hak asasi manusia, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, sosial, ketenagakerjaan, industri, perdagangan, pertambangan, energi, pekerjaan umum, transmigrasi, transportasi, informasi, komunikasi, pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, kelautan, dan perikanan.
Semua kelembagaan diwadahi dan diberikan tempat kementeriannya. Tetapi dalam hal kementerian urusan masyarakat adat, tidak dimasukkan pada hal di dalam Pasal 18 B UUD RI jelas hukum adat diakui. Artinya UU itu bertentangan dengan UUD RI 1945.
Gedung MK sebagai kebanggaan bangsa, para hakim MK sebagai hakim pemutus sengketa UU yang bertentangan dnegan UUD
Prof. Dr. Faisal Santiago menambahkan, kalau ada UU yang bertentangan dengan UUD RI, maka tempat untuk menguji berada di Mahkamah Konstitusi (MK). Jika MK tidak mau menanggapi sebagai warga yang mempunyai hak, harus lari kemana dalam mencari keadilan itu.
“Tempat untuk melakukan JR terhadap UU yang bertentangan dengan UUD 1945 adalah di MK, itu sebabnya para hakim di MK kita desak untuk mensidangkan JR yang diajukan oleh APHA,” tegas Prof. Faisal.
Dr. Victor Santoso Tandiasa sebagai kuasa hukum dari APHA menambahkan, saat ini MK sudah menyidangkan dua kali, tetapi sifatnya masih normatif belum masuk kedalam materi. Sidang pertama untuk melakukan perbaikan, sidang kedua juga masih bersifat formalitas. Nah untuk sidang yang ketiga itu merupakan putusan, apakah JR diputuskan untuk dibahas lebih lanjut atau dihentikan.
“Kita lagi menunggu jadwal itu, namun jadwal ini terkesan diulur-ulur seolah gugatan itu tidak penting,” kata Victor, seraya menambahkan, Pemerintahan Prabowo Subianto seyoginya merespon keberadaan masyarakat adat yang selama ini kepentingannya terdesak dari oligarki ekonomi. “Yang berani keluar dari cengkeraman ini tampaknya hanya Prabowo, karenanya masyarakat data berharap kepada Presiden terpilih itu, kata Victor.
Sebelumnhya juga disampaikan, Guru Besar Hukum Adat dan Filsafat Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jember (Unej), Prof. Dr. Dominikus Rato, S.H., M.Si., Mahkamah Konstitusi (MK) perlu membuat sejarah terhadap perlindungan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat jika mengabulkan permohonan dari Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA).
Prof. Rato menyampaikan, perlindungan terhadap masyarakat hukum adat ini sangat penting sehingga APHA mengajukan uji materi (judicial review) Undang-Undang (UU) Kementerian Negara terhadap UUD 1945.
Adapun pasal yang diuji oleh APHA ini adalah Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara terhadap Pasal 1 Ayat (2), Pasal 1 Ayat (3), Pasal 18B Ayat (2), dan Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ia menjelaskan, jika putusan MK ini melahirkan kementerian khusus yang menangani masyarakat hukum adat ini merupakan sejarah karena kementerian yang mengelola urusan masyarakat hukum adat itu sangat substansial.
“Pertama, itu melaksanakan konstitusional yang diatur dalam Pasal 18B Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Jadi, itu penting sekali,” katanya.
imbcnew/sumber diolah/