Catatan : Marah Sakti Siregar
IMBCNEWS | Jakarta, Tak ada kamus pensiun berkarya bagi wartawan. Apalagi “wartawan pejuang”. Begitulah prinsip hidup wartawan veteran Muhammad Tok Wan Haria (TWH).
Usianya kini 90 tahun. Sekitar 65 tahun sudah dilakoninya sebagai wartawan tiga zaman di Aceh dan Medan.
Dari kurun waktu itu, selama 36 tahun (1954-1990) di antaranya dijalaninya dengan bekerja sejak reporter kota dan reporter olahraga. Lalu jadi redaktur olahraga sampai kemudian menjadi wakil pimpinan redaksi di koran legendaris Medan: ‘Mimbar Umum’. (Nama awal ketika terbit pada 6 November 1945, ‘Mimbar Oemoem’).
Selama berkiprah puluhan tahun sebagai wartawan di ‘Mimbar Umum’, TWA rupanya tak sekedar meliput di dalam dan luar negeri serta menulis. Dia juga suka dan telaten memotret, menyimpan foto-foto dan mengoleksi pelbagai dokumentasi serta arsip terutama terkait sejarah perjuangan bangsa termasuk apa saja materi yang diliputnya. Semua dokumentasi itu dia simpan rapi di rumahnya.
Kesukaan mengoleksi dan menyimpan dokumentasi itu kemudian dia tularkan di kantornya. Ketika jadi wakil pemimpin redaksi, dia sering menugaskan stafnya untuk pergi mencari pelbagai dokumentasi penting untuk mengisi perpustakaan.
“Karena saya yakin suatu saat semua dokumen itu akan sangat berguna. Terutama untuk generasi muda, ” ujar TWH, wartawan penerima gelar kehormatan Veteran Pejuang Kemerdekaan Golongan B dari Departemen Pertahanan Keamanan RI.
Tahun ini, berbarengan dengan perayaan Hari Pers Nasional 2023 yang digelar di Medan, TWH kembali mendapat penghargaan. Kali ini dari Panitia Pusat HPN 2023. Berupa Penghargaan Kepeloporan Pers atas perannya sebagai Tokoh Pers Tiga Jaman. Sebuah penghargaan yang tepat sasaran.
Lahir di Geudong Samudra Pasai, Aceh Utara, pada 15 November 1932, TWH memang dibesarkan di era perjuangan kemerdekaan RI. Ayahnya A. Rahman TWH adalah seorang pejuang kemerdekaan di Aceh Utara.
Dalam usia belasan tahun ketika masih sekolah di Sekolah Menengah Islam (SMI) di Lhokseumawe, Muhammad TWH ikut berjuang dan bergabung dalam Tentara Pelajar Indonesia ( TPI) di kampungnya. Dia menjadi anggota Penerangan Tentara Resimen V Divisi X. Dalam tugas itulah dia berkenalan dengan dunia siaran radio.
Ia memulai karier sebagai koresponden Radio Perjuangan ‘Rimba Raya’. Lalu, menjadi penerbit surat kabar stensilan ‘ Suasana’. Surat kabar ini khusus menyiarkan berita-berita perang kemerdekaan di bawah supervisi Seksi Penerangan Resimen V Divisi X.
Usai kemerdekaan, pada tahun 1950, TWH pindah ke Medan. Di kota ini dia melanjutkan pendidikannya yang tercecer karena perjuangan kemerdekaan. Ia tamatkan sekolah menengahnya dan melanjutkan studi hingga meraih gelar di Akademi Pers Indonesia (API) Medan, dan Fakultas Sosial Politik Universitas Islam Sumatera Utara, jurusan Ilmu Komunikasi.
Berbekal ilmu itu, pada tahun 1954 TWH bergabung ke surat kabar Mimbar Umum. Sepak terjang jurnalismenya dalam peliputan dan penulisan terekam jelas. Dia lama malang melintang sebagai wartawan olahraga. Dan tercatat pernah menjadi Ketua SIWO Sumut.
Rajin menulis, TWH mengaku sudah menulis 27 buku. Tentang macam- macam hal, terutama yang berkaitan dengan sejarah termasuk ihwal perang kemerdekaan.
Keluarganya sangat bangga ketika menerima undangan TWH akan menerima penghargaan HPN yang akan diserahkan di hadapan Presiden Jokowi.
Sayang sekali, di tengah kemeriahan suasana di acara puncak HPN, 9 Februari lalu, ada insiden kecil. Wartawan sepuh yang kini menggunakan kursi roda itu, gagal naik ke panggung untuk menerima sertifikat penghargaan. Itu gara-gara kursi rodanya patah tatkala didorong turun dari mobil pengantar menuju arena upacara di Gedung Serba Guna Pemrovsu.
imbcnews/Penulis adalah Wartawan Senior, dan wartawan Utama