IMBCNews, Jakarta | Tidak dapat dipungkiri, konsepsi dan regulasi Masyarakat Hukum Adat (MHA) dalam kerangka hukum internasional terus mengalami dinamika dan perkembangan yang menuntut negara-negara untuk melakukan penyesuaian dalam hukum domestik masing-masing. Meski pun kajian tentang MHA sudah banyak dilakukan dan disusun, namun pemberlakuan, pengakuan dan perlindungan hukumnya baik di dalam mau pun di luar negeri belum seluruhnya terpenuhi.
Demikian antara lain dikemukakan Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Dr St Laksanto Utomo SH MH, dalam keterangan tertulis yang diterima IMBCNews di Jakarta, Jumat (30/6/2023) malam. APHA merupakan gabungan para pakar hukum dan akademisi bidang hukum dari berbagai perguruan tinggi.
Menurut Laksanto, keberadaan masyarakat hukum adat di berbagai belahan dunia, dengan segala dinamika dan tantangannya, terus mendorong masyarakat internasional untuk melahirkan berbagai kerangka dan norma guna memperkuat perlindungan dan pengakuan atas eksistensi masyarakat hukum adat.
“Beberapa instrumen hukum internasional juga sudah memberi pengakuan, seperti Konvensi International Labour Organitation Number 169 dan United Declaration on the Right of Indigenous People. Nah, dalam Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah menegaskan keberadaan masyarakat hukum adat, namun pengakuan dan pemberlakuannya masih diperlukan persyaratan administratif yang potensial membelenggu MHA,” sebut Laksanto.
Pengakuan dan perlindungan terhadap keberadaan masyarakat adat, lanjut dia, tertuang dalam Pasal 18 B ayat 2 dan Pasal 28 I ayat 3 UUD-1945, menegaskan bahwa, Negara mengakui dan menghormati kesatuan- kesatuan masyarakat hukum adat dengan hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan prinsip negara kesatuan RI.
“Hal tersebut menunjukan bahwa Negara RI menghormati keberadaan masyarakat hukum adat dengan segala aspeknya; Termasuk pemerintahan dan hukum dalam sistem hukum adat, hak-hak ekonomi dan lingkungan masyarakat hukum adat, hak ulayat, hak atas sumber daya alam dan lain sebagainya,” jelas dia.
Salah satu upaya pengakuan dan perlindungan menyeluruh, ungkap Laksanto, keberadaan atas hak masyarakat adat dipandangnya harus ada peraturan khusus untuk menjembatani masyarakat adat dengan negara. “Agar pemenuhan, penghormatan dan perlindungan kepada masyarakat adat dijalankan oleh Negara dengan peraturan yang jelas, lengkap dan relevan, sebagai perlindugan kedaulatan Masyarakat Adat dalam mewujudukan sendi-sendi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” tegas dia.
Lebih lanjut untuk upaya memperkuat segala jenis lindungan hukum, APHA akan menggelar International Conference & Call of Paper dengan mengangkat tema: “PENGAKUAN, PENGHORMATAN DAN PERLINDUNGAN HAK-HAK KONSTITUSIONAL MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM PRESPEKTIF NASIONAL DAN INTERNASIONAL”.
Konferensi yang akan digelar tersebut, diselenggarakan atas kerja sama Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA), Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI), Universitas Pancasila, Universitas Nasional, Universitas Trisakti, Universitas Sahid dan Universitas Borobudur Jakarta, sekitar awal-awal bulan Agustus 2023 mendatang. (Asyaro GK)