DUNIA POLITIK selalu menyimpan kisah tak terduga. Dalam dunia yang penuh intrik ini, satu prinsip yang terus bergaung adalah: “Tidak ada kawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang abadi.”
Itulah yang kini terjadi di berbagai penjuru arena politik, terutama pasca Pemilu Legislatif dan Pilkada. Ketika masa kampanye berlangsung, begitu banyak momen kebersamaan yang seolah tak tergantikan. Antara calon dan tim suksesnya tampak seperti sahabat sejati, bak bestie yang tak terpisahkan, saling dukung, saling percaya.
Namun, semuanya berubah saat kekuasaan telah digenggam. Bestie mulai berpaling. Janji-janji yang dulu diikrarkan bersama perlahan menguap. Hubungan yang awalnya manis berubah jadi getir. Caci maki, sindiran hingga sumpah serapah kini menghiasi media sosial dan ruang publik.
Kenapa bisa begini? Jawabannya sederhana: kepentingan. Ketika kepentingan tak lagi terakomodasi, maka loyalitas pun ikut menguap. Komunikasi yang tak berjalan baik menambah jurang di antara mereka. Dan akhirnya, hubungan yang dibangun atas dasar saling butuh itu pun kandas.
Dalam budaya Minang, ada pepatah: “Bak mengantar marapulai.” Setelah pengantin pria sampai ke rumah anak daro, pengantar pun pamit. Tapi dalam politik, pengantar merasa dirinya adalah bagian dari marapulai. Jadi, saat kepentingannya tak terlayani, ia memilih tetap “bermukim” dan menuntut jatah.
Saat jatah tak datang, “perang” pun dimulai.
Namun sayangnya, bagi sang marapulai yang telah duduk di pelaminan kekuasaan, bestie yang berbalik arah itu bukanlah hal yang perlu disesali. Karena dalam dunia ini, hasil adalah tujuan utama. Dan bila sang bestie memutuskan pergi, maka hanya ada satu ungkapan yang bisa dilontarkan:
“Anjing menggonggong, kafilah berlalu.”
Untuk para barisan sakit hati yang merasa ditinggalkan, ditipu, dan dikhianati, izinkan politik menjawab dengan tiga kata: “Kasian deh loe.”