IMBCNews, Jakarta – Niat Presiden Prabowo Subianto memaafkan para koruptor asal bersedia mengembalikan uang yang dicurinya dari negara menuai reaksi, selain tidak sesuai dengan undang-undang juga dikhawatirkan memicu persoalan baru.
“Hei para koruptor yang pernah merasa mencuri uang rakyat, mungkin kita maafkan, tapi kembalikan dong (uangnya -red), “ kata Prabowo saat temu muka dengan sejumlah mahasiswa Indonesia di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir (18/12).
Sepanjang minggu-minggu terakhir dan bulan-bulan pasca pelantikannya sebagai presiden RI, 21 Okt lalu, menurut Prabowo, (ia berfikir) memberi kesempatan para koruptor untuk tobat.
Dia menyebutkan, pengembalian hasil curian bisa dilakukan secara diam-diam supaya tidak ketahuan, sedangkan mengenai tata cara pengembalikannya akan diatur kemudian.
“Nanti kita beri kesempatan. Cara mengembalikannya bisa diam-diam supaya tidak ketahuan. Mengembalikan loh ya, tapi kembalikan,” jelasnya.
Namun jika masih ada pejabat yang bandel, lanjut presiden, ia tak akan ragu ragu menegakkan hukum dan mengingatkan aparat untuk mengambil sikap tegas, setia pada bangsa dan rakyat atau kepada pihak lain.
“Kalau setia kepada bangsa, negara, dan rakyat, ayo kalau tidak, percayalah, saya akan bersihkan aparat Republik Indonesia ini. Dan saya yakin dan percaya rakyat Indonesia berada di belakang saya,” imbuh Prabowo.
Tidak berikan efek jera
Sebaliknya, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai pemberian amnesti bagi koruptor dengan syarat mengganti kerugian negara tidak akan memberikan efek jera bagi pelakunya.
Peneliti ICW Diky Anandya meragukan pemberian amnesti bagi koruptor tersebut akan transparan, lantaran tidak pernah ada alat ukur yang pasti, kapan seseorang bisa mendapatkan amnesti dan abolisi.
“Jikai diatur melalui keppres, maka kekhawatiran saya juga akan sama, hal ini tidak akan memberikan efek jera, dan prosesnya juga tidak bakal transparan, karena tidak ada alat ukur yang pasti, kapan seseorang bisa mendapatkan amnesti dan kapan seseorang bisa mendapatkan abolisi,” kata Diky.
Diky mengatakan, data ICW mencatat bahwa pemulihan negara dalam lima tahun terakhir masih rendah yaitu dari Rp 56 triliun menjadi Rp 3 triliun saja. Karenanya, ia mengatakan, terkait pemulihan kerugian negara, pemerintah lebih baik memaksimalkannya dengan mempercepat pembahasan RUU Perampasan Aset.
“Rasanya bagi kami, tidak akan sulit bagi pemerintah untuk mendorong DPR agar segera mempercepat pembahasan RUU perampasan aset, karena kita tahu, setidaknya 85 persen anggota DPR berasal dari partai politik pendukung pemerintah,” ujarnya.
Mengutip data ICW, Dicki juga menyebutkan, vonis penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi sering rendah yaitu rata-rata 3-4 tahun.
Ia mengatakan, sebaiknya pemulihan kerugian negara juga diiringi dengan pemidanaan penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi untuk memberikan efek jera yang maksimal.
“ICW juga mendorong bahwa pemulihan kerugian keuangan negara itu harus berjalan secara paralel dengan pemidanaan badan melalui vonis terhadap terpidana kasus korupsi.
UU Revisi KPK ditinjau
Sementara peneliti Pusat Kajian Korupsi (PUKAT) UGM Zainur Rohman dalam acara di TV Kompas (23/12) selain mendesak percepatan pembahasan RUU Perampasan Aset, ia juga meminta agar UU Revisi KPK no 19 tahun 2019 ditinjau kembali.
Menurut catatan, RUU KPK No. 30 tahun 2002 yang disepakati oleh pemerintah dan seluruh fraksi di DPR menjadi UU No. 19 tahun 2019 memuat paling tidak 26 pasal pelemahan lembaga anti rasuah itu.
Sejumlah kewenangan KPK terkait penyelidikan dan penyidikan dilucuti, prosedur untuk melakukan OTT diperumit, sementara keberadaan Dewas, penempatan KPK sebagai lembaga negara dan karyawannya sebagai ASN merupakan poin-poin pelemahan KPK saat ini.
Selain pelemahan akibat perundang-undangan, KPK juga tercoreng namanya akibat ulah para pimpinannya. Empat dari lima pimpinan termasuk Firli Bahuri (ketua), lalu Ny Lili Pintauli Siregar, Alexander Marwata dan Nurul Ghufron (wakil ketua) tersandung persoalan etika.
Sementara Zaenur Rohman menambahkan, Presiden Prabowo adalah sosok yang “sudah selesai” sehingga tidak mungkin untuk berbuat macam-macam, namun jika penyelesaian kasus korupsi dilakukan diam-diam, bisa saja jajarannya yang diserahi tanggungjawab bakal berbuat “serong”.
Kecemasan publik di negeri ini: yang jelas-jelas diatur dengan berbagai payung hukum saja, masih bisa diakal-akali sehingga ‘deal-deal’ antara penegak hukum dan pelaku sering terjadi, apalagi jika penyelesaiannya secara diam diam.
I