IMBCNEWS Jakarta | Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. Sunarto diminta untuk membenahi organisasinya secara serius terkait kian maraknya para hakim terlibat suap, jual beli kasus dan pasal, sehingga menggdrasi kepercayaan hukum dikalangan masyarakat.
“Hingga kini masyarakat masih cemas, apakah kalau sebagian masyarakat berperkara di Pengadilan Negeri (PN) dapat menang tanpa uang meskipun alat-alat buktinya cukup falit, sesuai dengan fakta hukummya,” kata Ina Herlina, pengajar hukum Pidana di STIH Iblam Jakarta, pada Minggu.
Meskipun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah banyak menangkap para hakim tersangkut suap dan korupsi, begitu juga Jaksa melakukan penangkapan para hakim, prilaku dan sifat kerakusan dari sebagian hakim untuk tidak terlibat korupsi tidak turun atau jera,” katanya, seranya menambahkan, berapapun gaji yang diberikan oleh para hakim, nyatanya tidak mampu mendongkrak kepercayaan masyakat.
Oleh krenena itu, Ina mendorong reformasi birokrasi di jajaran Mahkamah Agung, untuk melakukan seleksi para hakim secara serius, tidak hanya berdasarkan lama waktu dia bekerja, tetapi perlu membuka rekam jejaknya ia sebagai hakim yang akan dinaikkan sebagai ketua PN dimanapun ia berada.
Ia diminta tangapannya terkat adanya Ketua Hakim PN Jaksel yang dijadikan sebagai tersangka dalam kasus suap ekspor CPO belum lama ini yang diputus ontslag, atau lepas, bukan sebagai materi hukum, sehingga ia bebas dari tuntutan.
Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta (MAN) sebagai salah satu tersangka kasus dugaan suap dan/atau gratifikasi terkait putusan lepas (ontslag) perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak kelapa sawit mentah di Jakarta, Sabtu (12/4) malam.
Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Abdul Qohar menyampaikan Arif terlibat dalam kasus tersebut saat menjadi Wakil Ketua PN Jakarta Pusat.
“MAN diduga telah menerima uang suap sebesar Rp60 miliar dari tersangka MS dan AR selaku advokat untuk pengaturan putusan agar dijatuhkan ontslag,” kata Abdul dalam konferensi pers di Jakarta, Sabtu (12/4) malam.
Pemberian uang itu, kata dia, diberikan melalui tersangka WG (Wahyu Gunawan) selaku Panitia Muda Perdata Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Adapun WG disebutkan sebagai orang kepercayaan MAN.
Ia menuturkan, saat ini pihaknya sedang mendalami kasus tersebut lebih lanjut untuk mencari tahu apakah uang yang diterima MAN mengalir ke pihak lain, terutama kepada majelis hakim yang menjatuhkan putusan.
Putusan tersebut dijatuhkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada PN Jakarta Pusat, Selasa (19/4), oleh Hakim Ketua Djuyamto bersama dengan hakim anggota Ali Muhtarom dan Agam Syarief Baharudin.
Abdul mengungkapkan bahwa para hakim yang menangani perkara saat ini sedang dijemput untuk diperiksa, di mana salah satu hakim sedang berada di luar kota.
“Tim secara proaktif melakukan penjemputan terhadap yang bersangkutan,” ucap dia.
Atas perbuatannya, MAN disangkakan melanggar Pasal 12 huruf c juncto Pasal 12 huruf B jo. Pasal 6 ayat (2) jo. Pasal 12 huruf a jo. Pasal 12 huruf b jo. Pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 11 jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam kasus yang dijatuhkan putusan lepas, terdakwa merupakan korporasi, yang meliputi PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group.
Pada putusan ontslag, para korporasi terbukti melakukan perbuatan sesuai dakwaan primer maupun subsider jaksa penuntut umum (JPU).
Kendati demikian, Majelis Hakim menyatakan perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana (ontslag van alle recht vervolging), sehingga para terdakwa dilepaskan dari tuntutan JPU.
Majelis Hakim juga memerintahkan pemulihan hak, kedudukan, kemampuan, harkat, serta martabat para terdakwa seperti semula. Atas putusan tersebut, Kejagung pun mengajukan kasasi.
imbcnews/ant/diolah/