IMBC -Jakarta – Pada saat pemerintah Presiden Prabowo Subianto gencar-gencarnya, dengan ragam cara melakukan efisiensi untuk menekan defisit aggaran, korupsi “jalan” terus, bahkan dengan nilai fantastis alias mencengangkan.
Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta (MAN) diduga menerima suap vonis lepas kasus ekspor crude palm oil (CPO) sebesar Rp 60 miliar. Hal itu diungkapkan oleh Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Abdul Qohar dalam jumpa pers di Kejaksaan Agung, Sabtu (12/4).
Suap diberikan agar hakim memberikan vonis ontslag atau putusan lepas terhadap tiga perusahaan yang terlibat yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
Dari Rp 60 miliar tersebut, Muhammad Arif Nuryanta membagikan Rp 22,5 miliar kepada tiga hakim yang menangani kasus ekspor CPO tersebut.
Mereka adalah Agam Syarif Baharuddin (ASB) dan Ali Muhtarom (AM) selaku hakim Pengadilan Negeri Jakarta (PN) Pusat, serta hakim PN Jakarta Selatan, Djuyamto (DJU).
Muhammad Arif Nuryanta awalnya menyerahkan uang Rp 4,5 miliar kepada ketiga hakim. Lalu pada September-Oktober 2024, Muhammad Arif Nuryanta menyerahkan uang senilai Rp 18 miliar kepada Djuyamto (DJU). Djuyamto membagi uang tersebut dengan Agam Syarif Baharuddin (ASB) dan Ali Muhtarom (AL) yang diserahkan di depan Bank BRI Pasar Baru Jakarta Pusat.
“ASB, DJU, dan AM masing-masing menerima uang dollar AS setara Rp 4,5 miliar, Rp 6 miliar, dan Rp 5 miliar,” ujar Abdul Qohar dan menambahka, pihaknya masih melakukan penyelidikan.
“Ini yang masih dikembangkan Kejagung, Apakah sisanya masih ada yang dibagi kepada orang lain atau seluruhnya dikuasi yang bersangkutan yaitu tersangka MAN,” katanya.
Vonis lepas merupakan putusan hakim yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, tetapi perbuatan tersebut tidak termasuk dalam kategori tindak pidana.
MAN disangkakan Pasal 12 huruf c jo. Pasal 12 huruf b jo. Pasal 6 ayat (2) jo. Pasal 12 huruf a jo. Pasal 12 huruf b jo. Pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 11 jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara, tiga hakim yakni Agam Syarif Baharuddin (ASB), Ali Muhtarom (AM) dan Djuyamto (DJU) disangkakan melanggar Pasal 12C juncto 12B juncto 6 ayat 2 juncto Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Kasus Megakorupsi
Kasus megakorupsi lain yang terungkap baru-baru ini a.l
terkait penambangan ilegal di wlayah Izin Usaha Pertambangan PTTimah antara 2015-2022 yng merugikan negara Rp 300 triliun lebih.
Setelah itu publik dikejutkan lagi oleh kasus dugaan korupsi di PT Pertamina (Persero) terkait tata kelola minyak mentah dan produk kilang periode 2018–2023 yang merugikan negara dengan nilai sangat fantastis, mendekati Rp1 quadriliun (Rp1.000 triliun) atau setara tiga kali nilai APBN 2025/2026.
Kerugian negara tersebut berasal dari beberapa komponen utama, antara lain:
- Ekspor minyak mentah ilegal yang menyebabkan kerugian sekitar Rp35 triliun.
- Impor minyak mentah melalui perantara (broker) dengan kerugian sekitar Rp2,7 triliun.
- Impor bahan bakar minyak (BBM) melalui broker yang merugikan negara sekitar Rp9 triliun.
- Pemberian kompensasi BBM yang tidak sesuai prosedur dengan kerugian sekitar Rp126 triliun.
- Subsidi BBM yang tidak tepat sasaran yang menyebabkan kerugian sekitar Rp21 triliun.
Selain itu, ada indikasi manipulasi kualitas BBM yang didistribusikan, di mana BBM dengan kualitas lebih rendah dijual sebagai BBM dengan kualitas lebih tinggi, sehingga menyebabkan kerugian tambahan bagi negara.
Hingga saat ini, Kejagung telah menetapkan tujuh tersangka dalam kasus ini, termasuk pejabat tinggi di lingkungan Pertamina dan pihak swasta.
Agaknya belum ada kiat efektif untuk membuat koruptor jera karena korupsi sangat menggiurkan, sementara institusi pengawasan sangat lemah, bahkan kebanyakan “oknum oknumnya” mudah diajak “bermain”. (imbc/Theo/sumber diolah)
P