IMBC News | Guru honorer di Indonesia masih belum mendapatkan perlindungan negara baik dari sisi kesejahteraan sebagai seorang pendidik maupun perlindungan dari sisi hukum.
“Kasus kriminalisasi terhadap guru honorer di SD SD Negeri 4 Baito, Konawe Selatan Sulawesi Tenggara Supriyani yang sudah menjadi guru honorer selama 16 tahun menjadi salah satu bukti nyata bahwa negara belum memberikan jaminan terhadap nasib guru honorer,” demikian penilaian Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ketika diminta pendapatnya, Sabtu 26 Oktober 2024.
Kasus seorang guru honorer Supriyani yang sempat ditahan atas tuduhan penganiayaan terhadap seorang siswa di Konawe Selatan beberapa waktu lalu atas tuduhan penganiayaan seorang murid SD. Kasus hukum pidana berawal dari laporan Ajun Inspektur Dua (Aipda) Hasyim Wibowo, Kepala Unit Intelijen Polsek Baito yang tak lain adalah orang tua dari anak tersebut.
Menurut Armai, dalam proses pembelajaran di sekolah seorang guru seyogianya mendapat perlindungan dan kepastian akan kesejahteraannya. Alih-alih mendapat perlindungan dan kesejahteraan, banyak guru termasuk guru honor di Indonesia harus berhadapan dengan hukum karena dilaporkan wali murid karena kekerasan terhadap anak.
“Tindakan seorang pendidik dalam mengarahkan dan membina muridnya di kelas dan lingkungan sekolah lazim dilakukan guru dalam konteks mendidik. Teguran yang diberikan guru sebagai salah satu bentuk perhatian, nasehat dan kasih sayang guru terhadap muridnya agar memiliki perilaku dan akhlak mulia, “ jelas ketua Dewan pembina Asosiasi Dosen Indonesia ini.
Bagi Armai Arief, setiap guru pasti sudah menyadari bahwa teguran lisan atau diikuti sanksi untuk penciptaan disiplin anak didik suatu hal yang dapat memberikan dampak yang positif bagi kepribadian anak didik. Namun bentuk teguran yang harus dilakukan dan diberikan kepada peserta didik adalah untuk tujuan penciptaan kepribadian dan akhlak siswa. Kalau berupa teguran tersebut berupa pukulan bahkan mengarah pada tindakan kekerasan hal ini yang tidak diperbolehkan karena merupakan tindakan yang tercela dan melanggar filosofi tujuan pendidikan itu,” tegas mantan ketua Asosiasi Dosen Indonesia ini.
Armai menilai bahwa nasib guru honorer masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah, khususnya perlindungan hukum dari tindakan kriminalisasi guru yang sedang melaksanakan tugasnya sebagai pendidik di sekolah dengan segala tingkatan. “Seorang guru honorer yang berjuang untuk hidup dan tumbuh dalam keistiqamahannya mencerdaskan generasi bangsa berbuah pahit dan menyakitkan. Pemerintah dalam hal ini, perlu melakukan upaya perlindungan hukum bagi semua guru baik honorer maupun guru berstatus aparatur sipil negara maupun swasta di seluruh Indonesia.
“Bila ada kasus seperti yang dialami seorang guru seyogianya negara memberikan pendampingan sampai jelas status hukumnya agar tidak terjadi peradilan sesat dan diskriminasi,” ungkap mantan wakil rektor UIN Jakarta ini.
Pada sisi lain menurut Armai diperlukan langkah konkrit untuk membuat kebijakan perlindungan hukum dan peningkatan kesejahteraan guru di seluruh Indonesia. Tidak terkecuali juga memberikan kesempatan guru untuk mengembangkan karir dan jenjang pendidikannya agar Sumber daya manusia guru semakin baik.
Armai mengusulkan kepada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Pendidikan dasar dan Menengah Prof. Abdul Mu’thi agar dibuat sebuah lembaga otonom dibawah kementerian yang bertugas memantau perkembangan kejiwaan anak didik dan mental heath dari guru serta kemajuan proses pembelajaran di setiap jenjang pendidikan. Hal ini penting untuk memperkuat program bimbingan konseling bagi anak didik dan memperkuat implementasi dari hasil penilai akreditasi formal serta menciptakan daya tahan phisikologis seorang guru dan tenaga kependidikan dalam menjalankan tugasnya di sekolah.
Perlindungan Anak Didik dari Tindak Kekerasan
Dalam konteks perlindungan terhadap anak didik, Guru besar pendidikan ini merujuk Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 54 (1); “Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak Kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. Pada ayat (2) dijelaskan bahwa; Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau Masyarakat.”
Menurut tokoh pendidikan asal Sumatera Barat ini, seorang guru dan pihak yang memiliki otoritas di lingkungan pendidikan berkewajiban menjadi garda terdepan dalam menciptakan perlindungan terhadap anak didik dari berbagai tindak kekerasan. Tanggung jawab itu bukan saja pihak guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, dan aparat pemerintah tetapi juga keterlibatan masyarakat, khusus wali murid atau orangtua murid.
Armai Arief berpesan kepada seluruh orang tua, “melapor itu boleh, dipersilakan tetapi jangan terlalu mudah untuk sering melapor kepada yang berwajib, apalagi masalah yang dilaporkan belum tentu benar. Oleh sebab perlu dilakukan komunikasi dan jalur musyawarah dengan pihak pendidik dan sekolah serta orangtua dan tidak terpancing emosional sesaat. ***