IMBCNEWS, – Jakarta – AR (14), santri asal Bali yang dikeroyok enam seniornya di lingkungan Pondok Pesantren Nurul Abror Al-Robbaniyin Alasbuluh, Banyuwangi, Jawa Timur (27 Desember 2024) akhirnya meninggal seusai menjalani operasi herniasi batang otak di RSUD Blambangan, akibat pendarahan hebat di tengkorak enam hari kemudian (3 Jan. ’25 pukul 13.30 WIB).
Korban–korban aksi perundungan dan kekerasan di lingkup sekolah termasuk yang berbasis agama (pesantren) terus berjatuhan, namun belum tampak greget serius pihak berwenang untuk mencegahnya.
Khusus terhadap kasus-kasus di lingkup pesantren tidak terlihat empati, greget dari menteri agama sebagai pucuk pimpinan tertinggi, baik yang baru maupun sebelumnya, juga jajaran di bawahnya, apalagi untuk melakukan tindakan terstruktur dan sistematis untuk mencegah kasus-kasus yang memalukan itu.
Paling tidak, jika korbanya meninggal, minimal ada jajaran Kemenag pusat yang datang melayat ke rumah duka, memberikan santunan, walau ini juga tidak cukup, tindakan pencegahan, termasuk meminta pertanggungan jawab sampai ke guru kelas harus dilakukan untuk mencegah kejadian serupa tak terjadi di tempat lain.
Apa yang bisa diharapkan dari lulusan pesantren sebagai kawah candradimuka bagi calon-calon pemimpin bangsa yang berbasis keimanan, jika kasus-kasus bullying, kekerasan, baik fisik, psikis mau pun seksual terus terjadi.
AR mengalami koma setelah dikeroyok enam senior Banyuwangi sementara Kapolresta Banyuwangi, Kombes Rama Samtama Putra, menegaskan kematian AR tidak menghentikan proses hukum.
Mulanya para pelaku akan dijerat Pasal 170 KUHP karena pengeroyokan itu dilakukan mengakibatkan luka berat, namun setelah korban meninggal, jeratan hukum dialihkan menjadi pengeroyokan yang mengakibatkan kematian sehingga ancaman pidananya pun berubah dari sembilan ke 12 tahun.
Polisi sudah menetapkan enam pelaku sebagai tersangka. Mereka masing-masing berinisial HR (17), IJ (18), MR (19), S (18), WA (15), dan Z (18). Kasus tersebut kini telah dilakukan penyelidikan.
Ironisnya, kekerasan seksual di lingkup pendidikan di sekolah berbasis agama yang sejatinya mengedepankan nilai-nilai moral dan ajaran agama, bahkan pelakunya guru atau ustadz yang seharusnya menjadi panutan para murid.
Kasus kekerasan seksual paling brutal dilakukan oleh pengelola ponpes Madani Boarding School, Cibiru, Bandung Herry Wiryawan yang memerkosa 13 santriwati antara 2016 sampai 2021.
Delapan korbannya melahirkan sembilan bayi, sedangkan pelaku dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri, Bandung.
Kasus lain yang viral, pelakunya, Mas Becchi (M Subchi, 42 tahun) , putera pengasuh Ponpes Shiddiqiyah, Jombang yang juga menjabat wakil rektor di pesantren ternama itu .Ia divonis tujuh tahun oleh Pengadilan Surabaya akhir 2022 karena terbukti mencabuli sejumlah santri.
Kasusnya ramai diviralkan, karena satu kompi polisi harus dikerahkan untuk menciduknya karena dihalang-halangi oleh para centengnya, sementara korban-korbanya juga sempat diintimidasi agar tidak melaporkan aib yang menimpa mereka.
Deputi Perlindungan Anak Kementerian PPPA Dea Pangestu menyebutkan, tiga dari 10 anak laki dan empat dari 10 anak perempuan usia antara 13 – 17 tahun (SLTP/SLTA) pernah mengalami kekerasan terutama kekerasan seksual.
Sepanjang 2024 saja , KPAI telah menerima 141 kasus pengaduan, 35 persen di antaranya terjadi di lingkungan sekolah termasuk sekolah pedidikan berbasis agama.
Tindakan terstruktur dan sistematis secara meyeluruh harus dilakukan, termasuk sanksi bagi pejabat yang bertangung jawab sampai guru kelas, juga “code of conduct” atau tata cara perilaku di satuan pendidikan harus dirumuskan secara detil dan jelas. (imbc/Theo/ sumber diolah