Catatan Asro Kamal Rokan, Pemimpin Redaksi Harian Republika (2003-2005); Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi LKBN Antara (2005-2007).
Menunggu Godot (Waiting for Godot) adalah drama karya Samuel Beckett, sastrawan besar dunia asal Irlandia, penerima Nobel Sastra pada 1969.
Drama Menunggu Godot pertama sekali dipentaskan di London pada1955. Hingga kini, naskah tersebut populer, sering dipentaskan, termasuk di Indonesia, dan didiskusikan di berbagai belahan dunia, karena tema itu masih dinilai relevan dengan kekinian atau aktual. Drama ini unik, penuh tafsir, dan absurd. Tokoh Godot tidak pernah muncul di panggung secara fisik, hanya namanya disebut dalam percakapan antarpelakon — sosok yang tidak jelas, namun tetap ditunggu.
Para kritikus drama membuat beragam kesimpulan, di antaranya bahwa Godot adalah simbol kebaikan, kesejahteraan, harapan keadilan bagi kaum tertindas, hadirnya negara membela rakyat dari kekejaman, dari penderitaan, dari kesewenang-wenangan. Tapi bisa pula sebaliknya, ironi dan misterius.
Drama ini dibuka dalam ruang yang dominan kosong, hanya ada pohon dan gundukan tanah. Suasana terkesan di sebuah jalan pedesaan dengan cahaya redup. Di panggung ini, ada dua lelaki yang tidak jelas latar belakangnya. Namun dari dialog dan penampilan, Vladimir dikesankan sebagai sosok intlektual, filsuf, dan selalu menjaga penampilan. Kontras dengan sosok Estragon, yang pesimistis, tanpa harapan, kecuali baginya makan dan tidur nyenyak lebih penting. Keduanya menunggu Godot, yang tidak mereka kenal. Selama menunggu, mereka berdebat dan bertengkar tentang berbagai hal, tanpa topik jelas.
Ketika Pozzo masuk, mereka menduga inilah Godot yang mereka tunggu. Ternyata bukan. Pozzo datang bersama budaknya bernama Lucky. Sosok Pozzo digambarkan sebagai majikan kejam. Leher Lucky diikatnya dengan tali dan berkali-kali dicambuknya. Meski diperlakukan kejam, Lucky tidak meninggalkan Pozzo.
Sampai drama berakhir, Godot yang ditunggu tidak kunjung datang.
Berbagai karakter dalam drama ini serasa mewakili masyarakat yang menunggu sesuatu yang tidak jelas dan absurd. Dalam konteks Indonesia, Godot dapat pula ditafsirkan menunggu sesuatu yang lebih baik. Ketika Reformasi 1998 terjadi, maka muncul harapan besar yakni reformasi sebagai pintu gerbang memasuki masa depan Indonesia yang lebih baik. Rakyat menjadi sejahtera dan berdaulat. Sumber daya alam yang melimpah sepunuhnya untuk kemakmuran rakyat, tidak lagi dibajak para koruptor yang menghisap.
Reformasi lahir karena dipicu oleh masifnya korupsi, kolusi, dan nepotisme pada era Orde Baru. Reformasi muncul dengan cita-cita besar, yakni Indonesia bebas korupsi, bebas penindasan, dan terbebas dari kemiskinan. Cita-cita besar itu diperjuangkan mahasiswa, para aktifis, dan gerakan masyarakat sipil. Tidak sedikit korban berjatuhan.
Kini, apa yang terjadi? Situasi berbalik arah. Korupsi merajalela dan terjadi hampir di semua lini. Keadilan terasa hanya untuk mereka yang kuat dan memiliki uang banyak. Hukum dan kasus-kasus korupsi menjadi alat menyandera lawan-lawan politik. Tanah-tanah rakyat diambil dengan berbagai alasan. Partai-partai politik yang diharap memperjuangkan rakyat dan demokrasi, berubah menjadi instrumen kekuasaan.
Reformasi 1998 sukses memisahkan secara tegas wilayah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Namun setelah itu, batas-batas tegas tersebut menjadi kabur. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) buah dari gerakan reformasi, semula sangat dibanggakan karena indepensinya, kini tidak lebih baik dari institusi penegak hukum lainnya. Undang-undang No 19 Tahun 2019 hasil persekongkolan eksekutif dan legislatif, meletakkan KPK di bawah rumpun eksekutif.
Godot yang ditunggu, tidak juga datang. Keteladanan tokoh — yang ditunggu dan dirindukan — telah berubah menjadi kisah masa lalu, kisah pelipur lara. Tidak ada lagi tokoh yang memiliki integritas moral, sehebat mantan Kepala Kepolisian Almarhum Jenderal Hoegeng Iman Santoso, mantan Jaksa Agung Almarhum Baharuddin Lopa, politisi dan mantan menteri sederhana Almarhum Mohammad Natsir, apalagi sekelas mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta yang rela meninggalkan kursi kekuasaan, dan keikhlasan mantan Presiden Almarhum BJ Habibie yang menolak kembali dicalonkan sebagai Presiden.
Bagi mereka yang cacat moral, etika, dan akal sehat, tokoh-tokoh besar tersebut tidak berarti apa-apa, tidak mempengaruhi perilaku mereka, apalagi menjadi contoh. Wajah bangsa ini seperti seseorang berkaca di cermin pecah, sulit untuk berhias, absurd, bahkan dapat pula menakutkan.
Godot yang diharapkan membawa kebaikan dan perubahan, tidak juga kunjung datang. Jika sastrawan Samuel Beckett menulis naskah Menunggu Godot hanya dua babak, maka rakyat negara ini menulis drama hidup dan penantiannya, jauh lebih lama, berbabak-babak, puluhan tahun. Jadi, masih perlukah kita terus menunggu Godot?
Atau, jangan-jangan karakter Lucky dalam naskah drama ini, sindiran untuk kita. Lucky seorang budak dari majikannya, Pozzo, yang kejam. Lehernya diikat, dipaksa membawa beban, dan sering pula dicambuk. Meski diperlakukan tidak manusiawi, Lucky tidak ingin meninggalkan majikannya. Dia ingin menunjukkan sebagai budak yang baik, tangguh, dan tidak mengeluh — seolah ini adalah nasib yang harus dijalani dengan senang hati.
Namun apakah bangsa Indonesia yang sudah lebih dari 70 tahun merdeka, melahirkan ribuan guru besar dan teknokrat, ekonom handal masih berprilaku jongos? …. mestinya tidak.
Jakarta, Jnauari 2025.