IMBCNews – Jakarta – PULUHAN anggota Oriental Circus Indonesia (OCI) di Taman Safari Indonesia (TSI) Cisarua, Bogor, Jawa Barat dihilangkan identintas dan asal-usulnya, diduga mengalami penyiksaan fisik da verbal secara rutin dan dieksploitasi tanpa daya.
Hal itu terkuak setelah kisah pilu dan mengenaskan yang mereka alami diviralkan di media arus utama terutama oleh sejumlah stasiun TV dan juga medsos termasuk saat mereka mengadu kepada Wakil Menteri HAM, Mugiyanto, Selasa (15/4).
Para korban mengaku, kekerasan berupa tendangan atau pukulan jika mereka berbuat kesalahan saat latihan, tidak perform, bahkan kalau tidak menebar senyum saat pertunjukan, sudah menjadi “santapan” sehari-hari.
Salah satu diantaranya, Butet menuturkan, ia diantarkan oleh orang tuanya pada 1975 saat berusia lima tahun untuk dijadikan pemain sirkus. Selain tepukan dan aplaus penonton seusai pertunjukan, kehidupannya amat kelam dan monoton.
Hanya berlatih dan melakukan pertunjukan. Kegiatannya hanya sebatas panggung, sama sekali tidak mengetahui situasi di luar, keluarga, apalagi bermain seperti lazimnya anak-anak atau bergaul saat beranjak remaja.
Kegiatan mulai dari pagi hari, sarapan, berlatih, makan siang, sekolah (cuma satu jam, yang mengajar juga salah satu karyawan), kemudian pertunjukan pada malam harinya.
Butet yang terlibat percintaan dengan sesama pemain sirkus, hamil dan melahirkan anak yang langsung diambil oleh pengelola OCI.
Bahkan, bayi perempuannya itu yang kemudian berhasil dlarikan tidak mengetahui keberadaan ayahnya yang dipecat setelah percintaan mereka diketahui pihak OCI.
Butet juga mengaku, kakinya dirantai dengan rantai pengikat gajah saat ketahuan berhubungan gelap dengan rekan sesama pemain sirkus, dan saat hamil tua pun masih terus dipaksa tampil di pertunjukan.
Ia berharap keadilan ditegakkan, terutama menghukum dua bersaudara pengelola OCI, yakni Frans dan Yansen Manangsang yang sering menganiaya mereka, baik dengan tangan kosong, alat setrum gajah mau pun memaksa menelan sekerat daging yang dilumuri kotoran gajah.
Dipulangkan, karena cedera
Sementara Ida dipulangkan pada orang tuanya akibat mengalami kecelakaan, terjatuh dari ketinggian 15 meter saat melakukan pertunjukan sehingga tidak bisa perform lagi karena mengalami cacat permanen.
Bertahun-tahun sebagai anggota OCI, Ida tidak pernah mendapat kesempatan untuk menghubungi atau dihubungi orang tua atau keluarganya, dan baru setelah ia cedera permanen sehingga tidak bisa tampil di panggung, dipulangkan.
Kisah Vivi juga tak kalah memilukan. Ia tidak tahu kenapa ia berada di TSI dan menjadi pemain sirkus, karena saat dipaksa dibawa oleh pengelola OCI, ia masih balita berusia sekitar dua tahun.
“Sampai hari ini, saya tidak tahu siapa orang tua saya, saya juga tidak memiliki identitas diri sehingga kehidupan saya sangat sulit, “ tuturnya, seraya menambahkan, ia pernah ingin bunuh diri karena putus asa.
Tak tahan dengan kekerasan dan perlakuan buruk pemilik dan pengelola sirkus, saat remaja ia beusaha melarikan diri, menembus hutan belantara, lalu sampai di Pasar Cisarua, beberapa km jaraaknya dari lokasi TSI.
Ia ditampung oleh seseorang yang kemudian ternyata petugas sekuriti TSI, tempat OCI menampilkan pertunjukan sirkus yang kemungkinan melaporkan keberadaannya sehingga dia dipaksa untuk kembali ke TSI.
Sirkus keliling
OCI yang semula adalah grup sirkus keliling, menetap di TSI, Cisarua, Bogor, Jawa Barat, walau kuasa hukum TSI membantah bahwa TSI memiliki pernajian kerjasama ataua keterikatan hukum dengan OCI.
Sementara penerus manajemen dari pendiri OCI, Tony Sumampou kepada media (17/4) menururkan, ayahnya mengambil para calon pemain sirkus balita dari panti asuhan dan ia menyebut isu kekerasan yang dilakukan pada anak-anak adalah fitnah.
“Nggak mungkin kami melakukan kekerasan, karena jika kami melakukannya mana mungkin mereka tampil dalam pertunjukan, “ tuturnya seraya menambahkan, mereka memang tidak digaji, dengan alasan, masih anak-anak.
Baik Frans, Yansen mau pun Tony, tidak pernah hadir dalam beberapa program TV yang menampilkan kisah kelam para eks-pemain sirkus itu.
Para eks-pemain sirkus (seluruhnya sekitar 60 orang) walau hanya sebagian yang terlacak keberadaannya, dijadwalkan akan diterima oleh Komisi III DPR, Senin (21/4), namun tidak diperoleh informasi, apakah manajemen OCI dan TSI juga akan dihadirkan.
Ironisnya, para pemain sirkus tersebut pernah mengadukan perlakuan buruk terhadap mereka oleh manajemen OCI ke Komnas HAM dan Mabes Polri pada 1997, namun tidak berbuah apa-apa.
Komnas HAM telah menyampaikan rekomendasi terhadap sejumlah pelanggaran HAM oleh OCI, namun tidak ada tindak lanjutnya, sementara Mabes Polri menghentikan penyelidikan kasus tersebut (menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau SP3) karena dianggap daluwarsa.
“Aneh ya, kasus yang masih berjalan dan berlangsung bertahun-tahun, disebut kadaluwarsa, “ kata kuasa hukum korban, Moh. Soleh seraya berharap agar sikap Komnas HAM dan Mabes Polri diklarifikasi lagi.
Di tataran atau perspektif lebih luas lagi, banyak yang mempertanyakan absennya kehadiran negara terkait dugaan pelanggaran HAM dalam kasus ini.
Apa yang dilakukan negara, diwakili mulai dari petugas babinsa (dari TNI) dan babinkamtibmas (Polri) yang ada di tiap kelurahan, polsek, polres, koramil, kodim, kapolda, kodam, kelurahan, kecamatan, kabupatan dan provinsi?
Semuanya harus bebenah dan mawas diri, agar penyimpangan atau pelanggaran sampai puluhan tahun tidak tersebtuh hukum dan keadilan! Ayo buka-bukaan, siapa berani?