Ulasan Pengungsi oleh: Theo Yusuf MS
IMBCNEWS | Sampai saat ini ribuan orang-orang suku Rohinya, yang sering disebut Musim Roingnya bertebaran mengungsi dimana-mana. Mereka bukan hanya kedinginan di tengah laut. Tetapi juga lapar dan haus karena tidak ada persediaan dan seolah mata dunia tertidur. Jika tidak teridur justru mereka mengusir dengan keras.
Mereka mengungsi antara lain ke Indonesia, Malaysia, Thailand, India dan Pakstan. Hampir semua negara tujuan mempunyai kebijakan menolak kedatangan mereka. Bukankan mereka manusia yang pantas dilindungi ?
Bukankah mereka manusia – manusia yang berhak melintas atau singgah hingga menetap lewat suatu prosedur kemanusiaan yang perlu dibantu ? Inlah fakta, bahwa ternyata para pemimpin suatu negara belum banyak mengartikulasi dimana batas negara dan sia-siapa saja yang berhak untuk menetap masih terbtas pada tataran legalitas semu.
Sepeti yang terjadi dibeberapa pekan terakhir ini. Seorang pengungsi Muslim Rohingya, Anwara Begum, 55, menahan air mata saat dia mencoba membujuk cucunya yang berusia 7 tahun, Umme Habiba, untuk menelan sepotong makanan. Mereka berada di kamp pengungsian Rohingya di Cox’s Bazar, Bangladesh.
VOA Indonesia, Kamis di Jakarta melansir, Kondisi Habiba saat itu sedang sangat sedih, ia menangisi kepergian ibunya, Hatemon Nesa, 27, dan saudara perempuannya Umme Salima yang masih berusia 5 tahun. Keluarga tersebut baru saja mendapatkan informasi bahwa mesin kapal kayu bobrok yang mereka tumpangi rusak di lautan saat menuju Malaysia.
Sekitar 200 penumpang berada di atas kapal tersebut yang meninggalkan Bangladesh pada 25 November. Semua penumpang kapal itu adalah pengungsi Rohingya dan mereka kehabisan makanan dan air dalam perjalanan.
Perempuan dan anak-anak etnis Rohingya duduk di dekat api unggun di pantai setelah perahu mereka terdampar di Pulau Idaman di Aceh Timur, Jumat malam, 4 Juni 2021, setelah meninggalkan kamp pengungsi di Bangladesh.
Begum mengatakan kepada VOA dalam sebuah wawancara telepon, “Nesa memberi tahu kami bahwa orang-orang sekarat akibat kelaparan dan dehidrasi di atas kapal karena kapal yang mereka tumpangi hanyut tanpa tujuan. Saya takut putri dan cucu perempuan saya juga akan mengalami nasib serupa.”
“Saya terus menangis, tapi tidak pernah (melakukannya) di depan Habiba. Saya mengatakan kepada cucu saya bahwa Allah akan menyelamatkan ibu dan saudara perempuannya, entah bagaimana caranya. Saya terus berdoa.”
Ratusan kilometer jauhnya, di laut, Nesa yang merasa letih juga berusaha menahan diri demi anaknya yang masih balita.
Pengungsi Rohingya berkumpul di Kamp Pengungsi Kutupalong untuk memperingati lima tahun pelarian mereka dari negara tetangga Myanmar untuk menghindari penumpasan militer pada tahun 2017, di Cox’s Bazar, Bangladesh, 25 Agustus 2022. (Foto:
“Begitu kami tahu bahwa kapal itu tidak bergerak ke arah Malaysia, para perempuan di kapal, termasuk saya, menjadi cemas,” kata Nesa kepada VOA melalui sambungan telepon. “Ketika kapal hanyut ke perairan India, banyak dari sekitar 30 anak di dalamnya mulai menangis karena lapar dan haus. Melihat anak-anak kesakitan, ibu mereka juga mulai menangis.”
Nesa berusaha untuk tetap tegar, tidak meneteskan air mata. Ia khawatir rasa takut yang ia rasakan akan menular ke Salima. “Saya menggendong putri saya saat dia jatuh sakit setelah saya buatkan ia minum dari air laut asin. Saya menghiburnya, mengatakan bahwa Allah pasti akan membantu kami untuk mencapai tujuan kami,” kata Nesa.
Umme Habiba, 7, anak tertua Hatemon Nesa, dan neneknya Anwara Begum, 55, saat berada di tempat tinggal mereka di Cox’s Bazar,
Umme Habiba, 7, anak tertua Hatemon Nesa, dan neneknya Anwara Begum, 55, saat berada di tempat tinggal mereka di Cox’s Bazar, Bangladesh, pada 10 Januari 2023. (Foto: Courtesy)
Nesa adalah salah satu dari sekitar 740.000 warga Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh pada 2017. Mereka berusaha menyelematkan diri setelah militer Myanmar menumpas habis etnis minoritas Rohingya yang sebagian besar Muslim. Suami Nesa telah meninggalkannya di Myanmar tak lama setelah kelahiran putri kedua mereka.
“Kamp pengungsi Rohingya yang padat dan tidak sehat di Bangladesh mirip seperti penjara,” kata ibu tunggal dua anak ini. “Selama kami berada di kamp, gerakan kami dibatasi oleh pihak berwenang dan anak-anak kami tidak memiliki akses ke pendidikan formal. Masa depan terlihat suram di Cox’s Bazar.”
Anak-anak pengungsi Rohingya di Bangladesh biasanya belajar di Maktab, sekolah dasar Islam tradisional tempat mereka belajar membaca dan mengaji.
Pengungsi Rohingya mendaftarkan identitasnya ke petugas imigrasi di tempat penampungan sementara di Laweueng, Aceh 29 Desember
Pengungsi Rohingya mendaftarkan identitasnya ke petugas imigrasi di tempat penampungan sementara di Laweueng, Aceh 29 Desember
“Jadi, saya memutuskan untuk membawa anak-anak saya ke Malaysia. Mereka akan mendapatkan pendidikan yang lebih baik di sana, dan tumbuh menjadi perempuan yang kuat,” kata Nesa. “Saya tidak mampu bepergian dengan membawa dua putri saya kali ini, jadi saya hanya membawa Salima. Saya berharap Habiba akan bergabung dengan kami nanti, entah bagaimana caranya.”
Saat mesin perahu mogok setelah berlayar selama 10 hari, para penumpang dihinggapi rasa cemas. Penderitaan itu menjadi semakin buruk ketika 19 dari rombongan pengungsi melompat ke air setelah melihat perahu lain. Mereka berharap mendapatkan bantuan. Ironisnya, tidak ada yang membantu mereka, dan akhirnya mereka tenggelam di laut karena tidak bisa berenang kembali ke perahu mereka sendiri.
Saudara laki-laki Nesa, Mohammed Rezuwan Khan, sesekali berbicara dengannya melalui telepon dari Bangladesh. “Saya bilang ke adik saya dan penumpang lain untuk minta tolong dengan melambai-lambaikan tangan sambil memegang kain, setiap kali melihat perahu lain. Hati kami hancur ketika kami mendengar bahwa tidak ada yang menyelamatkan mereka,” kata Khan kepada VOA melalui telepon.
Sebuah keluarga pengungsi Rohingya saat berkumpul di tempat tinggal mereka di Cox’s Bazar, Bangladesh. (Foto: VOA/Noor Hossain)
Saat Begum berdoa agar kapal putrinya terdampar di mana saja di muka Bumi ini selama dia bertahan hidup, asa Nesa dan rekan penumpangnya perlahan pupus.
“Teriakan dan lambaian tangan yang terus menerus, tanpa makanan atau air selama 13 hari, benar-benar menghabiskan energi kami. Dua puluh enam penumpang meninggal dunia,” kata Nesa. “Pada satu titik, kami semua menyerah mencoba mendapatkan bantuan. Kami pergi ke kabin dan berbaring diam di sana. Tidak terucapkan, tapi mungkin semua orang sedang menunggu kematian di atas kapal. Saya tidak berhenti berdoa.”
Jawaban atas doa Begum datang dalam bentuk panggilan video dari Nesa pada 26 Desember. Nesa, putrinya, dan sekitar 172 orang lainnya baru saja diselamatkan oleh nelayan dan otoritas lokal di Aceh, menurut badan pengungsi PBB. Begum menangis lega.
Warga desa di Bangladesh membantu dua perempuan lanjut usia dari etnis Rohingya untuk turun dari perahu setelah menyeberangi kanal di Shah Porir Deep, di Teknak, Bangladesh, Kamis, 31 Agustus 2017. (Foto: AP)
Warga desa di Bangladesh membantu dua perempuan lanjut usia dari etnis Rohingya untuk turun dari perahu setelah menyeberangi kanal di Shah Porir Deep, di Teknak, Bangladesh, Kamis, 31 Agustus 2017. (Foto: AP)
“Keimanan saya kepada Allah semakin kuat setelah melewati cobaan ini,” kata Nesa. “Saya percaya saya akan segera mencapai Malaysia.”
Akhir-akhir ini, Malaysia sangat ketat dalam memberlakukan peraturan terhadap pengungsi Rohingya. Negara itu tidak mengizinkan kapal pengungsi mendarat di pantainya. Jadi, kapal yang membawa Rohingya berputar haluan untuk mencapai Indonesia. Dari Indonesia, dengan bantuan para oknum penyelundup manusia, menggunakan jalur rahasia, para pengungsi itu menyelinap masuk ke Malaysia. Selama beberapa bulan, mereka mengikuti strategi ini untuk bisa masuk ke Negeri Jiran tersebut. Indonesia bukanlah tujuan akhir para pengungsi. Namun karena letak Malaysia sangat dekat dengan Indonesia, seperti semua pengungsi lainnya, Nesa merasa sudah hampir mencapai Malaysia.
Di Bangladesh, keluarga Nesa takut mengirim Habiba melalui perjalanan via laut yang ilegal dan berbahaya seperti yang dilakukan ibunya. Saudara laki-laki Nesa menceritakan panggilan telepon yang dia lakukan baru-baru ini kepadanya dari Indonesia.
Dengan bersemangat, Nesa berkata, “Bicaralah dengan orang-orang dari Bangladesh. Saya berbicara dengan mereka dari Indonesia, dengan satu pertanyaan: bagaimana keluarga kami bisa bersatu kembali?
“Putri saya baru berusia 7 tahun. Dia tidak dapat melakukan perjalanan laut ilegal yang penuh dengan bahaya ini. Saya memohon kepada masyarakat internasional untuk mengatur agar Habiba dapat secara legal melakukan perjalanan ke Malaysia dari Bangladesh dan bersatu kembali dengan Salima dan saya. Ini harapan seorang ibu,” kata Nesa.
IMBCnews/diolah/[ah/rs/**