Oleh Anwar Abbas
Akhir-akhir ini media banyak membicarakan masalah hotel sultan. Bahkan pihak Kepolisian Resor Metro Jakarta Pusat sempat mengerahkan sekitar 100 personel untuk mengamankan pengosongan lahan Hotel yang dikuasai oleh PT Indo Buildco yang terletak di atas tanah seluas 13 hektare di kawasan Gelora Bung Karno jakarta tersebut.
Secara hukum masa hak guna bangunan dari PT tetsebut katanya sudah habis pada bulan Maret-April 2023 yang lalu sehingga pihak pusat pengelolan komplek Gelora Bung Karno, yang berada di bawah Sekretariat Negara (Setneg) ingin mengambilnya.
Tetapi yang menjadi persoalan bagi saya bukan masalah status hukum dan masa pengelolaan oleh PT Indobuildco tersebut yang sudah habis sehingga pemerintah akan mengambilnya.
Yang menjadi keprihatin saya kalau kita lihat di sepanjang jalan sudirman dan jalan thamrin yang merupakan kawasan elit dan paling bergengsi di ibukota jakarta tersebut dari puluhan kalau tidak bisa kita katakan ratusan gedung dan bangunan yang ada disana maka bisa disimpulkan bahwa nyaris semua gedung dan bangunan yang ada di daerah elit tersebut di dominasi oleh pihak asing dan aseng sementara yang dikuasai oleh penduduk asli boleh dikatakan bisa dihitung dengan jari.
Untuk itu bagi saya yang terpikir apakah tidak mungkin hak guna bangunan yang selama ini dikuasai oleh PT Indobuildco itu diperpanjang karena dengan dicabutnya izin dari PT Indo buildco tersebut maka berarti jumlah pengusaha dari penduduk asli di kawasan elit tersebut semakin berkurang sehingga pengusaha dari penduduk asli semakin tersingkir saja.
Saya secara pribadi tidak kenal dengan pontjo sutowo sebagai pemilik dari PT yang bersangkutan. Tetapi yang saya tahu beliau adalah penduduk asli apalagi nama hotel beliau adalah hotel sultan sehingga hal demikian membuat diri saya sebagai penduduk asli dan sebagai bagian dari umat islam indonesia merasa sedikit berbangga karena masih ada penduduk asli dan bagian dari umat islam yang masih bisa membuka usaha di daerah elit tersebut.
Tapi bagaimana penyelesaiannya tentu saja terserah kepada pemerintah, akan tetapi kalau pemerintah tidak mempertimbangkan sisi-sisi keadilan dan kepantasan dalam membuat kebijakan maka tentu saja rakyat akan merasa kecewa dan kita tidak mau hal itu terjadi.
Penulis adalah pengamat sosial ekonomi dan keagamaan.