IMBCNEWS Jakarta | – Segenap pengurus dan angggota Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia (DePA-RI) diminta menaruh kepedulian terhadap pelestarian bumi dan kelangsungan lingkungan hidup, sebab persoalan lingkungan hidup merupakan masalah yang sangat serius untuk dicarikan pemecahannya.
Permintan supaya peduli lingkungan hidup itu dikemukakan Ketua Umum DePA-RI Dr. TM Luthfi Yazid SH LLM dalam keterangan pers di Jakarta, Selasa (22/4/2025) terkait peringatan Hari Bumi Sedunia 22 April 2025.
Luthfi Yazid sebelumnya pernah menangani kasus pro bono lima ribu kepala keluarga korban pencemaran sungai Ciujung, Serang Banten oleh perusahaan di sepanjang sungai itu pada tahun 90-an.
Adapun Hari Bumi itu sendiri adalah sebuah gerakan global yang dirayakan setiap tanggal 22 April dan memiliki tujuan untuk mengingatkan kepada siapapun bahwa Bumi yang menjadi tempat tinggal manusia ini perlu dijaga dan dilestarikan serta perlu dilindungi dari ancaman polusi, perubahan iklim, dan eksploitasi berlebihan.
Luthfi yang juga pernah menjadi Peneliti dan Pemimpin Redaksi Jurnal Hukum Lingkungan di Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) itu, peringatan Hari Bumi seringkali diabaikan, juga oleh kalangan penegak hukum termasuk advokat.
“Tidak banyak advokat maupun organisasi advokat yang menyerukan agar kita sebagai penegak hukum dan para advokat ikut menjaga kelestarian bumi dan lingkungan hidup. Padahal kita semua adalah penghuni dari bumi satu-satunya,” katanya.
Bahkan tambah miris lagi jika ada advokat yang membela mati-matian perusahaan yang jelas-jelas merusak lingkungan hidup demi keuntungan materi semata. Semestinya jangan sampai menjadi tameng bahwa seorang advokat “tidak boleh menolak klien”.
Jika klien berdasarkan data, suara masyarakat, dan hasil penelitian jelas-jelas merusak dan mencemari lingkungan hidup, namun tetap dibela membabi-buta agar lepas dari hukuman dengan putusan onslag, maka advokat semacam itu bukan saja merendahkan martabat profesi advokat, namun juga tidak peduli dengan masa depan lingkungan dan planet bumi.
Luthfi juga mengemukakan, dua pengacara, Marcella Santoso dan Ariyanto Bakri yang ditangkap karena membela kliennya yang didakwa turut serta merusak lingkungan dan kelestarian bumi hanyalah salah satu contoh.
Kemudian, ada empat hakim yang turut ditangkap karena diduga menerima suap sebesar Rp 60 miliar. Suap menyuap itu dapat terjadi karena adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Jika sang advokat tidak mengiming-imingi materi kepada hakim, maka suap tak akan terjadi. Begitu juga jika hakim menolak tawaran serta iming-iming advokat, maka suap menyuap juga tak akan terjadi.
Masalah serius
Pada bagian lain, Ketua Umum DePA-RI mengemukakan, masalah pencemaran lingkungan, perusakan hutan, punahnya berbagai spesies, dan rusaknya keanekaragaman hayati adalah masalah serius. Selain itu, masalah pemanasan global, perubahan iklim dan ozone depletion sudah menjadi keprihatinan dunia.
Sementara itu berbagai perhelatan internasional sejak tahun 1970 sudah diadakan seperti di Stockholm, the Earth Summit Rio De Janeiro tahun 1992 serta pertemuan internasional di Kenya, Kyoto, dan Bali. Berbagai konvensi internasional juga sudah dilahirkan, dan eksekusi semua itu membutuhkan komitmen serta aksi bersama, termasuk dari kalangan advokat.
Luthfi yang juga alumni sebuah jaringan global, yakni Leadership for Environment and Development (LEAD Program) di New York itu mengingatkan, kepedulian bersama dan cara pandang yang holistik merupakan suatu keharusan.
Ia juga menjelaskan, dalam program LEAD selama dua tahun dengan peserta dari berbagai negara seperti China, India, Indonesia, Kanada, Pakistan, Nigeria, Rusia, Mexico dan Brazil itu diajarkan bagaimana melihat persoalan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan dengan cara pandang luas, baik dari segi ekonomi, politik, dan sosial maupun agama dan filsafat serta hukum lingkungan.
Ketua Umum DePA-RI lebih lanjut menghimbau Presiden Prabowo Subianto agar memastikan bahwa Satgas Penerbitan Kawasan Hutan (PKH) yang lahir lewat Perpres No. 5 Tahun 2025 beserta upaya-upaya pelestarian bumi dan lingkungan hidup lainnya dapat dijalankan dengan konsisten, konsekuen, dan berkeadilan ekologis.
Selain itu harus ada sikap tegas kepada siapapun dan kepada perusahaan apa pun yang memiliki keserakahan ekologis serta merusak hutan dan lingkungan hidup.
Sebab, seperti yang dikatakan Garreth Hardin dalam The Tragedy of the Common (1968) bahwa bumi dan lingkungan hidup ini bukan hanya untuk keadilan generasi sekarang, namun juga untuk generasi mendatang (intergenerational justice).
Dikatakan, dalam perkembangan dunia global yang tidak menentu (uncertain) ini, kesadaran kolektif tentang urgensi pelestarian bumi dan lingkungan hidup adalah sebuah keniscayaan.
imbcnews/**diolah/