IMBCNews, Jakarta | Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di Lokasi ibu kota baru meliputi sebagian besar wilayah administrasi Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara di Provinsi Kalimantan Timur, sebaiknya tidak mengabaikan lingkungan hidup karena konstitusi dasar sudah mengamanatkan untuk menjaga keberlangsungan lingkungan hidup.
Pasal 33 ayat 4 UUD 1045 antara lain menyebutkan, perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. “Artinya, boleh saja Presiden membangun IKN di ibu kota lain, tetapi jangan sekali-kali melawan konstitusi dasar itu,” kata Dr. Wahyu Nugroho, SH MH Peneliti Jimly School of Law and Government kepada IMBCNews di Jakarta, Rabu (2/8/2023).
Ia dimintai tanggapannya terkait dengan rusaknya lingkungan di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara yang akan dijadikan pusat ibu kota Indonesia. Sedikitnya, ada tiga permasalahan lingkungan hidup yang terancam yakni, ancaman terhadap tata air dan risiko perubahan iklim, ancaman terhadap flora dan fauna, serta ancaman terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Banyak hutan rusak akibat pohon ditebang dan flora dan fauna keluar dari habitatnya.
Menurut Wahyu yang juga dosen FH Universitas Sahid Jakarta itu, kebijakan pemindahan ibu kota negara menjadi problematika yang cukup serius dari aspek lingkungan hidup & hak hak masyarakat adat yang berada di sekitarnya.
“Konstitusionalisme lingkungan hidup berdasarkan Pasal 33 ayat 4 UUD 1945 seharusnya tetap menjadi barometer penyelenggaraan pemerintahan negara yang berorientasi pada wawasan lingkungan dan berkelanjutan,” katanya.
Dalam kaitan itu, Pemerintah melihat isyu lingkungan tampak tidak serius. “Bukanlah hanya sekedar konsep, framework & prinsip ekokrasi, melainkan harus sudah menjadi komitmen (political will) penguasa untuk membumikan tafsir konstitusi lingkungan hidup tersebut,” kata Wahyu Nugroho lagi.
Ditambahkan, ketidakberdayaan lingkungan hidup, daya dukung, dan daya tampung, serapan air tanah, ditambah dengan hak hak masyarakat adat, termasuk hak hak ulayat di sekitar lokasi IKN justru kontradiktif dengan konstitusi lingkungan hidup. Baik DPR maupun pemerintah, justru saling menguatkan dalam politik legislasi, khususnya terkait dengan investasi dan proyek proyek strategis nasional, serta pembangunan infrastruktur.
Politik legislasi dalam bayang bayang oligarki, di Indonesia tampak nyata. Mengutip pendapat Prof. Dr. Jimly Assiddiqie sudah menguraikan quadran politika, khususnya state dan market menjadi simbiosis mutualisme, pada akhirnya melahirkan totalitarianisme.
Menurut Wahyu, totalierisme harus dicegah untuk menuju sistem demokrasi yang mengundang partisipasi publik. Jangan sampai atas nama kuasa negara mereka seenaknya merusak lingkungan demi keuntungan pribadi dan kelompoknya, namun dengan gagah mereka itu mengatasnamakan negara. Seolah negara berada di bawah ketiaknya. hal itu yang harus dicegah.
Konstitusionalisme masyarakat (hukum) adat juga secara eksplisit mendapatkan pengakuan namun bersyarat, tanpa adanya komitmen politik legislasi untuk mengesahkan RUU terkait masyarakat hukum adat.
Justru yang terjadi di lapangan adalah penggusuran ruang hidupnya dan kriminalisasi masyarakat hukum adat atas berbagai proyek strategis nasional maupun infrastruktur. Namun ketika peringatan hari besar nasional, semisal kemerdekaan RI, Presiden dan para pejabat menggunakan pakaian adat.
Dikatakan, Sangat kontradiktif cara-cara seperti itu jika tidak ingin dimaknai sebagai pembohongan publik. Pembangunan IKN baik secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada ekonomi, sosial budaya, lingkungan, bahkan harga tanah yang tiba-tiba melejit.
Lokasi IKN sebagai jantung nya hutan, paru paru dunia, dan habitat satwa liar, akan berubah menjadi gedung gedung pemerintahan, dan berimbas pada pembangunan rumah dinas bagi para pejabat, pembangunan hotel, dan investasi lainnya, pada akhirnya penggusuran lahan masyarakat adat sebagai ruang hidupnya, penebangan pohon, dan penghilangan habitat satwa liar tidak dapat terhindarkan.
Kebijakan IKN perlu dikaji ulang dari berbagai aspek, sehingga menimbulkan kesan ambisius dan memenuhi hasrat kelompok kelompok tertentu, namun merugikan kepentingan bangsa yang lebih besar. (ks/tys/asy)