IMBCNEWS Jakarta | Penangkapan wartawan Jak TV hingga berlanjut kepada penahananan dengan alasan merintangi tugas kejaksaan (obtruction of justice), dapat mereduksi kemerdekaan pers yang mestinya kita jaga dan kita rawat bersama, utamanya kejaksaan Agung sebagai garda penjaga demokrasi, bukan perusak demokrasi.
Menurut saya, ketika yang disorot adalah produk jurnalistik atau tindakan yang dilakukan dalam kapasitas sebagai jurnalis (apalagi oleh direktur pemberitaan), maka Dewan Pers seharusnya dilibatkan sejak awal, bukan setelah status tersangka diumumkan. Itu tidak fair dalam do proces the law dalam negara hukum dan demkrasi, kata Ketua PWI Cabang Beksi Raya, Ade Muhksin, SH di Jakarta, Kamis.
Pers punya posisi khusus dalam demokrasi, sehingga mekanisme pengawasannya berbeda dari profesi lain. Bila aparat penegak hukum bertindak tanpa konsultasi dengan Dewan Pers, berisiko menimbulkan kesan kriminalisasi jurnalis, dan sudah pasti kerja seperti itu dapat mereduksi sistem demokrasi yang perlu kita jaga bersama, tambahnya.
Ia dimintai tanggapannya terkait adanya dugaan wartawan JakTV merintangi tugas kejasaan (obtruction of justice) terhadap kasus kurupsi sektortimah dan kasusnya Tom Lembong. Kejaksaan Agung menetapkan Direktur Pemberitaan Jak TV Tian Bahtiar (TB) bersama pengacara Marcella Santoso (MS) dan Junaedi Saibih (JS) sebagai tersangka dalam kasus perintangan penyidikan (obstruction of justice).
“Terdapat pemufakatan jahat yang dilakukan untuk mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung,” kata Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Abdul Qohar di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa dini hari, seperti dikutip Antara.
Ade Muhksin mengatakan, konsultasi lebih awal akan membantu membedakan mana yang merupakan kerja jurnalistik yang sah, dan mana yang mungkin merupakan penyalahgunaan media untuk kepentingan lain.
Selain itu, nampaknya Kejaksaan lupa bahwa pada tahun 2019 telah dialkukan MoU antara Dewan Pers dan Kejaksaan Agung yang dituangkan dalam SKB NO. 01/DP/MoU/II/2019 dan No. Kep.40/A/JA/II/2019 yang pada intinya kedua lembaga sama-sama menjaga ruang demokrasi melui tugas dan fungsinya masing-masing yakni Kejasaan sebagai lembaga penuntut untuk mempertimbangkan suatu kasus apakah terkait konten pers atau tidak, maka dalam hal itu, Dewan Pers-lah sebagai lembaga yang dapat memutus awal, agar kerja Kejasaan tidak tergelincir dalam pembunuhan demokrasi.
“Kalau penanganan kasus seperti ini dilakukan tanpa keterlibatan Dewan Pers sejak awal, bisa menciptakan ketakutan di kalangan jurnalis atau redaksi bahwa langkah redaksional mereka bisa langsung ditarik ke ranah pidana,” kata Ade Muhksin, dengan menambahkan, Ini mengancam iklim kebebasan pers, dan secara jangka panjang bisa mengganggu fungsi media sebagai pilar demokrasi.
Langkah kejaksaan seharusnya transparan sejak awal: apakah yang diselidiki adalah pribadi pelaku, atau konten jurnalistiknya. Jika produk jurnalistik yang dipersoalkan, maka kode etik dan mekanisme penyelesaian oleh Dewan Pers adalah pintu pertama. Hanya jika ada unsur pidana di luar kerja jurnalistik (misalnya pemufakatan jahat, intimidasi, atau sabotase), maka pidana bisa masuk, katanya.
imbcnews/sumber diolah/