Oleh H. Anwar Abbas *]
IMBCNews | Jenderal Rudini, ketika menjabat Menteri Dalam Negeri pernah berkata: “Kalau ada pegawai di kementeriannya punya rumah mewah di kawasan elite, padahal yang bersangkutan dan keluarganya tidak punya bisnis serta tidak mendapatkan harta warisan yang banyak, maka mereka pantas sekali dicurigai telah melakukan praktik korupsi.”
Pernyataan Rudini tersebut, masih terasa sangat relevan saat ini. Perlu pula peernyataan ini untuk dibuktikan kebenarannya. Karena, banyak sekali para pejabat di kementerian, badan dan lembaga negara yang punya rumah dan mobil mewah. Tak hanya itu, tanah yang luas juga mereka punyai.
Maka, pertanyaannya adalah; Dari mana kekayaan tersebut mereka perdapat? Kalau melalui cara yang halal dan patut atau terpuji, tentu tidak masalah. Akan tetapi, kalau melalui praktik korupsi dan penyalah-gunaan jabatan, tentu jelas tidak bisa ditolerir.
Untuk itu, bagi terciptanya pemerintahan yang bersih, semua aparat sipili negeri (ASN) tidak hanya diharuskan melaporkan kekayaannya saja, namun juga diwajibkan menjelaskan dan membuktikan sendiri dari mana asal muasal kekayaan yang mereka miliki.
Sebagai contoh, akhir-akhir ini mencuat sebuah kasus tidak terpuji yang dilakukan oleh seorang anak dari pegawai perpajakan yang melakukan pelanggaran hukum. Akhirnya, masalah menjalar kepada persoalan kekayaan orang tuanya. Di mana, banyak warga masyarakat bertanya-tanya bagaimana bisa seorang pejabat eselon III (Kepala Bagian Umum) Kanwil Ditjen Pajak Jakarta Selatan II punya kekayaan sebesar sampai sekitar Rp56,1 milyar.
Hal itu adalah jumlah yang hampir 4 kali lipat lebih tinggi dari kekayaan Dirjen Pajak yang merupakan atasannya.
Memang, dalam laporan kekayaan dia dinyatakan bahwa itu semua dia peroleh dan perdapat dari hasil usaha sendiri. Maka yang menjadi pertanyaan usaha apa yang telah dia lakukan, sehingga dia punya kekayaan sebanyak itu.
Untuk itu, agar ada kejelasan menyangkut harta kekayaannya, dan juga supaya tidak ada fitnah, maka masing-masing ASN sebagai pejabat publik harus membuktikan sendiri asal muasal kekayaannya.
Bila terdapat kejanggalan dan ketidak pantasan, maka kasusnya perlu ditindak lanjuti oleh pihak yang berkompeten dari masing-masing kementerian, badan dan lembaga tersebut. Atau, oleh para penegak hukum lainnya agar tercipta ASN yang benar-benar bersih dan bertanggung jawab; Dan ini yang menjadi harapan dan keinginan kita semua.
*] Penulis, adalah Pengamat Sosial Ekonomi dan Keagamaan, Juga Wakil Ketua Umum Majelis ‘Ulama Indonesia (MUI).